Friday, June 10, 2011

Shalat Rasulullah SAW (Bagian2)

 
oleh: H. Imran Effendy Hasibuan, MA.

BAB II
SHALAT FARDU

  1. Definisi, Hukum dan Dasar

  1. Definisi

Shalat menurut bahasa ialah doa. Dan shalat dalam istilah syara` ialah beberapa perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.

  1. Hukum dan dasar

Diwajibkan mendirikan shalat fardu atas setiap orang mukmin mukalaf (dewasa dan berakal).[1] Dasar hukumnya al-Qur’an, Sunnah dan ijmak. Firman Allah s.w.t.:
وَ أَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَ آتُوْا الزَّكَاةَ وَ ارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ.[2]
Artinya:
Dan dirikanlah shalat, dan keluarkanlah zakat dan rukuklah kamu bersama orang-orang yang rukuk.

Sabda Nabi Muhammad s.a.w.:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى.[3]
Artinya:
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat.

Dan sabda Nabi s.a.w. yang artinya: “,Islam dibina atas lima dasar: (pertama) bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; (kedua) mendirikan shalat; (ketiga) mengeluarkan zakat; (keempat) haji ke Baitullah; dan (kelima) puasa Ramadan.”[4]

Umat Islam sepakat bahwa setiap orang mukmin mukalaf wajib mendirikan shalat lima kali dalam sehari semalam. Sebab hal itu sudah diterima dan dilakukan mulai dari masa Nabi Muhammad s.a.w. hingga sekarang.  Perintah shalat fardu tersebut diterima oleh Nabi Muhammad s.a.w. pada malam Isra’-Mi`raj.
Umat Islam sependapat bahwa orang yang mengingkari wajibnya shalat fardu yang lima telah menjadi kafir murtad, karena dalil wajibnya jelas dalam al-Qur’an, Sunnah dan ijmak sebagaimana disebutkan diatas.
Diwajibkan bagi setiap kepala keluarga menyuruh anggota keluarganya mendirikan shalat. Firman Allah SWT., “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat, dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”.[5]
Kanak-kanak yang telah berumur tujuh tahun disuruh mengerjakan shalat, dan yang sudah berumur sepuluh tahun dipukul dengan pukulan mendidik, apabila ia enggan mengerjakannya. Sabda Nabi Muhammad s.a.w.:

مُوْرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَ هُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَ اضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَ هُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ.[6]
Artinya:
Perintahlah anak-anakmu shalat diwaktu usianya tujuh tahun, dan pukullah mereka karena enggan melakukannya diwaktu usianya sepuluh tahun.

Shalat kewajiban paling besar dan utama dalam Islam sesudah kewajiban mengucap dua kalimah syahadat. Dan shalat pembeda antara muslim dengan kafir. Sabda Rasulullah s.a.w.:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَ بَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.[7]
Artinya:
Yang membedakan antara seorang muslim dengan kafir ialah meninggalkan shalat.

  1. Syarat Shalat
Syarat shalat ialah sesuatu yang harus ada untuk dapat mendirikan shalat tetapi hal itu diluar shalat, bukan bagian dari pelaksanaan shalat.
Ditinjau dari kaitannya dengan shalat, maka syarat terbagi dua: syarat wajib shalat dan syarat sah shalat. Syarat wajib shalat ialah Islam, baligh dan berakal.
Adapun syarat sah shalat ialah: (1) Islam; (2) Berakal atau mumayiz; (3) Suci dari hadas besar dan hadas kecil; (4) Suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis; (5) Menutup aurat. Aurat lelaki ialah anggota tubuhnya yang diantara pusat dan lutut. Sedangkan aurat perempuan dalam shalat seluruh badannya kecuali muka dan dua telapak tangan; (6) Masuk waktu yang telah ditentukan untuk masing-masing shalat; dan (7) Menghadap kiblat, yaitu Ka`bah (Baitullah) yang berada di tengah Masjidil Haram Mekah al-Mukarramah. Para ulama sepakat bahwa menghadap ke arah kiblat menjadi syarat sah shalat. Karena itu setiap muslim wajib menghadap kiblat dalam shalat.
Dasar hukum harus menghadap kiblat adalah al-Qur’an dan Sunnah. Firman Alah SWT, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali  tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.[8] Dan firman Allah SWT, “Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram; sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.” (Surat al-Baqarah,2:149-150).
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu hendak shalat, maka sempurnakanlah wudu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu takbir!”[9] Dan Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:

اَلْبَيْتُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ وَ الْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْحَرَمِ وَ الْحَرَمُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ فِى مَشَارِقِهَا وَ مَغَارِبِهَا مِنْ أُمَّتِى.
Artinya:
Ka`bah (Baitullah) kiblat bagi orang-orang di Masjidil Haram, Masjidil Haram kiblat bagi orang-orang penduduk Tanah Haram (Mekkah), dan Tanah Haram (Mekkah) kiblat bagi semua umatku di bumi baik di kawasan timur maupun barat.

Menurut Oman Fathurohman, pada saat ini metode yang sering digunakan dalam pengukuran arah kiblat ada tiga macam, yakni: Pertama, memanfaatkan bayang-bayang kiblat; Kedua, memanfaatkan arah utara geografis (true north); dan Ketiga, mengamati/ memperhatikan ketika matahari tepat berada di atas Ka`bah pada tanggal 28 Mei (untuk tahun pendek) atau pada tanggal 27 Mei (untuk tahun kabisat) pukul 12.18 waktu Mekah; dan tanggal 16 Juli (tahun pendek) atau 15 Juli (tahun kabisat) pukul 12.27 waktu Mekah.
Bila waktu Mekah dikonversi menjadi waktu Indonesia Barat (WIB) maka harus ditambah dengan 4 jam sama dengan pukul 16.18 WIB dan 16.27 WIB.”[10]

  1. Rukun shalat
Rukun shalat ialah segala perbuatan dan perkataan dalam shalat yang apabila tidak dilakukan, maka shalat tidak sah.
Rukun shalat tiga belas, yaitu: (1) Niat. (2) Takbiratul ihram, yaitu membaca أَللهُ أَكْبَرُ Dinamakan takbiratul ihram (takbir yang mengharamkan), karena dengan membaca takbir ini maka diharamkan bagi orang yang shalat melakukan segala perbuatan selain perbuatan shalat. (3) Berdiri tegak bagi yang mampu. Dibolehkan duduk atau berbaring bagi orang yang sakit. (4) Membaca surat al-Faatihah pada setiap rakaat. (5) Rukuk sehingga tomakninah (berdiam sebentar) padanya. (6) Bangkit dari rukuk sehingga iktidal (berdiri tegak lurus) dan tomakninah padanya. (7) Sujud sehingga tomakninah padanya. (8) Duduk antara dua sujud sehingga tomakninah padanya. (9) Duduk pada tasyahud akhir. (10) Membaca tasyahud akhir. (11) Membaca selawat untuk Rasulullah s.a.w. pada tasyahud akhir. (12) Mengucapkan salam yang pertama. (13) Tertib, yaitu mengerjakan rukun-rukun shalat tersebut dengan berurutan sebagaimana disebutkan.[11]

Beberapa Penjelasan

Dari 13 rukun shalat tersebut perlu dijelaskan beberapa hal, yaitu:
  1. Niat
Niat adalah berazam dalam hati mengerjakan amal tertentu dengan maksud hanya untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Benarnya niat salah satu syarat sah dan bernilainya amal.
Niat yang benar ialah berazam melakukan suatu amal atau pekerjaan semata-mata untuk mencapai ridho Allah SWT, bukan untuk tujuan lain. Adanya maksud dan tujuan selain dari untuk mencapai ridho Allah merupakan syirik dalam beramal. Amal yang dinodai dengan syirik tidak akan diterima oleh Allah SWT. Firman Allah SWT: “,Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaatinya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”[12] Dan firman-Nya: “,Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.[13]  
Al-Hafiz Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan hadis dari Anas r.a., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “,Dihadapkan amal-amal anak cucu Adam di hadapan Allah `Azza wa Jalla pada hari kiamat, dalam lembaran-lembaran yang distempel, maka Allah berfirman: ‘Yang ini kamu campakkan, dan yang ini kamu terima”. Maka para malaikat yang bertugas mengawasi orang bersangkutan dalam kehidupan dunia berkata: “,Wahai Tuhan, demi Allah kami tidak melihat daripadanya kecuali kebaikan”. Jawab Allah: “,Sesungguhnya amalnya itu ia lakukan untuk selain ridha-Ku, dan pada hari ini Aku tidak menerima amal kecuali amal yang dilakukan hanya untuk mengharapkan ridho-Ku”.[14] Dan ini sesuai dengan hadis riwayat muttafaqun `alaihi yang sangat terkenal:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.[15]
Artinya:
Sesungguhnya segala amal hanya dengan niat, dan sesungguhnya balasan bagi setiap orang sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang berhijrah kepada dunia yang ingin ia dapatkan atau kepada perempuan yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan dalam berhijrah.

Berniat shalat dilakukan ketika membaca takbiratul ihram. Waktu berniat tidak boleh sebelum takbir dan juga tidak sesudah takbir. Orang yang hatinya kosong dari berniat sewaktu membaca takbiratul ihram, shalatnya tidak sah meskipun ia berniat sesudah bertakbir itu.
Syarat niat pada shalat fardu ada tiga: Pertama, qashad yaitu bermaksud melakukan shalat; Kedua, ta`yiin yaitu menentukan nama shalat, seperti shalat zuhur atau shalat asar; dan Ketiga, ta`arrud yaitu berniat shalat fardu. Syarat niat pada shalat sunat yang ditentukan waktunya, seperti sunat rawatib, ada dua macam, yaitu: qashad dan ta`yiin.[16] Dan syarat niat pada shalat sunat mutlak hanya satu yaitu qashad.[17]
Menurut sebagian ulama mazhab Syafii muta’akhkhirin (generasi yang terakhir) disunatkan melafazkan niat.[18] Namun Imam Syafii sendiri tidak menyebutkan sunatnya melafazkan niat. Dan sepanjang penelitian penulis, Syafii dalam kitabnya al-‘Umm, tidak ada menyebutkan disunatkannya melafazkan niat. 
Kalimat lillaahi Ta`aalaa (karena Allah), sesuatu yang mesti ditanamkan dan dihayati dalam hati, tidak boleh dinodai oleh syirik, riya dan sifat-sifat tercela lainnya untuk selamanya.
Adanya sebab, motivasi dan tujuan lain selain dari untuk mendapat ridha Allah merupakan syirik dalam ibadah. Pamer dan ekspos amal merupakan bentuk riya paling nyata.
Kesungguhan beramal karena tampak oleh orang lain merupakan refleksi dari sifat riya yang tersembunyi dalam hati.
Terbetiknya rasa `ujub (rasa kagum) dan takbur (sombong) dalam hati karena amal pertanda dangkalnya pemahaman tentang makna iradat (kehendak) dan qudrat (kekuatan) Allah SWT; dan juga karena lupa akan kedha`ifan diri yang tidak dapat berbuat apapun tanpa kehendak dan kekuatan Allah; atau karena tidak menghayati kalimat لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ (tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah), meskipun selalu membacanya.
Niat cukup disebutkan dalam hati, tidak perlu dilafazkan. Penulis tidak menemukan dasar melafazkan niat shalat, baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Tidak ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW dan sahabat melafazkan niat shalat.
Tidak ditemukan keterangan yang tegas dari imam mazhab dan ulama mujtahid mutlak, seperti Imam as-Syafii, yang menjelaskan sunatnya melafazkan niat sebelum takbiratul ihram. Keterangan tentang itu hanya dikemukakan oleh sebagian ulama muta’akhirin.
Niat dapat diazamkan dalam hati meskipun tidak dilafazkan. Karena itu tidak perlu melafazkan niat meskipun untuk tujuan menguatkan azam (tekad untuk shalat) yang dalam hati. Kalau sempurnanya niat bisa hanya dengan melafazkannya, pasti Rasulullah SAW dan sahabat juga melafazkannya.
Penulis tidak mengatakan melafazkan niat sebagai bid`ah dhalalah (sesat). Dan ini tidak merusak ibadah shalat. Sebab lafaznya dibaca sebelum takbiratul ihram. Segala yang dilakukan sebelum takbiratul ihram tidak termasuk bagian dari shalat. Tidak batal shalat karena lafaz niat yang dibaca, dan juga tidak berkurang pahalanya.  

  1. Surat al-Faatihah
Ta`awwudz sebelum membaca al-Faatihah

Disunatkan membaca ta`awwudz: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ sebelum membaca surat al-Faatihah sebagaimana ketika hendak membaca ayat-ayat al-Qur’an lainnya.
Al-Qurtubi di dalam tafsirnya, menulis sebagai berikut:

أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ التَّعّوُّذَ لَيْسَ مِنَ الْقُرْآنِ وَلَا آيَةٌ مِنْهُ، وَهُوَ قَوْلُ الْقَارِئِ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. وَهَذَا اللَّفْظُ هُوَ الَّذِي عَلَيْهِ الْجُمْهُوْرُ مِنَ الْعُلَمَاءِ فِي التَّعَوُّذِ لِأَنَّهُ لَفْظُ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى. وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ قَالَ: قُلْتُ أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ؛ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ هَكَذَا أَقْرَأَنِي جِبْرِيْلُ عَنِ اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ عَنِ الْقَلَمِ).[19]
Artinya:
Ulama ijmak bahwa ta`awwudz bukan bagian dari al-Qur’an dan tidak salah satu dari ayat-ayatnya, akan tetapi merupakan perkataan orang yang membaca al-Qur’an, yaitu: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ Menurut jumhur ulama, inilah kalimat ta`awwudz, karena merupakan lafaz Kitab Allah SWT (dalam surat an-Nahl [16] ayat 98: فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْءَانَ فَاسْتَعِذْ بَاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ /”,Apabila kamu membaca al-Qur’an, maka berlindunglah kamu dengan Allah daripada godaan setan yang terkutuk.”). Diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, bahwasanya ia berkata: “,Aku katakan: أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ ;maka Nabi SAW bersabda: (Wahai Ibnu Ummi `Abdin, أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ; seperti inilah dibacakan kepadaku oleh Jibril dari al-Lauh al-Mahfuzh, dari al-Qalam).

Hukum membaca ta`awwudz

Disunatkan membaca ta`awwudz: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ sebelum membaca surat al-Faatihah sebagaimana juga ketika hendak membaca ayat-ayat al-Qur’an lainnya. Ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 98 seperti disebutkan di atas.
Al-Qurtubi di dalam tafsirnya, mengemukakan beberapa pendapat ulama tentang hukum membaca ta`awwudz sebagai berikut:

هَذَا الْأَمْرُ عَلَى النَّدْبِ فِي قَوْلِ الْجُمْهُوْرِ فِي كُلِّ قِرَاءَةٍ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ. وَاخْتَلَفُوْا فِيْهِ فِي الصَّلَاةِ. حَكَى النَّقَّاشُ عَنْ عَطَاءٍ: أَنَّ الْاِسْتِعَاذَةَ وَاجِبَةٌ. وَكَانَ ابْنُ سِيْرِيْن وَالنَّخْعِيُّ وَقَوْمٌ يَتَعَوَّذُوْنَ فِيْ الصَّلاَةِ كُلَّ رَكْعَةٍ، وَيَمْتَثِلُوْنَ أَمْرَ اللهِ فِي الْاِسْتِعَاذَةِ عَلَى الْعُمُوْمِ، وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ وَالشَّافِعِيُّ يَتَعَوَّذَانِ فِي الرَّكْعَةِ الْأُوْلَى مِنَ الصَّلَاةِ وَيَرَيَانِ قِرَاءَةَ الصَّلَاةِ كُلَّهَا قِرَاءَةًً وَاحِدَةً؛ وَمَالِكٌ لَا يَرَى التَّعَوُّذَ فِي الصَّلَاةِ الْمَفْرُوْضَةِ وَيَرَاهُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ.
Artinya:
Menurut jumhur ulama, disunatkan membaca أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ ketika setiap akan membaca al-Qur’an di luar shalat. Namun mereka berbeda pendapat hukumnya dalam shalat. An-Naqqasy meriwayatkan bahwa menurut `Atho’, membaca ta`awwudz adalah wajib. Ibnu Sirin, an-Nakh`iy dan sejumlah kaum membaca ta`awwudz dalam shalat pada setiap rakaat, dan mereka melaksanakan perintah Allah untuk berta`awwudz secara umum setiap akan membaca ayat al-Qur’an. Sedangkan Abu Hanifah dan Imam Syafii, membaca ta`awwudz pada rakaat pertama dalam shalat, dan mereka memandang bacaan dalam shalat seluruhnya merupakan satu bacaan. Dan Imam Malik berpendapat tidak dibaca ta`awwudz dalam shalat fardu, akan tetapi dibaca dalam shalat qiyamu Ramadhan.

Di dalam Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah, Abdurrahman al-Juzairi mengemukakan: “,Membaca ta`awwudz adalah sunat menurut tiga imam mazhab [Abu Hanifah, Syafii, dan Ahmad bin Hanbal), berbeda dengan pendapat Imam Malik bin Anas r.a.[20]
Para ulama mazhab Hanafi mengemukakan: “,Ta`awwudz sunat, yaitu orang yang shalat membaca: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم pada rakaat pertama, sesudah takbiratul ihram dan al-tsanaa’. Tidak dibaca ta`awwudz kecuali pada rakaat pertama, baik imam atau sendirian atau makmum; kecuali makmum masbuq, seperti makmum yang mendapati imam sudah mulai membaca al-Quran, maka dalam keadaan seperti ini ia tidak membaca ta`awwudz. Sebab ta`awwudz mengikut kepada bacaan al-Quran, menurut pendapat yang kuat dalam mazhab mereka; dan dilarang membacanya dalam keadaan imam sedang membaca al-Qur’an.”
Para ulama mazhab Syafii mengemukkaan: “,Ta`awwudz sunat pada setiap rakaat shalat. Dan lafznya yang paling utama: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
Para ulama mazhab Hanbali mengemukakan: “,Ta`awwudz sunat pada rakaat pertama, dan lafaznya:  أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ [Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui daripada syaitan yang terkutuk].[21]

Pendapat mazhab Syafii, tentang membaca ta`awwudz dalam shalat, yang dikemukakan oleh al-Juzairi di atas adalah menurut sebagian ulama-ulama mazhab ini. Namun pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Syafii, membacanya pada rakaat pertama saja.[22] Imam Syafii di dalam kitab al-‘Umm menulis sebagai berikut:

قال الشافعى:  و أيهما فعل الرجل أجزأه إن جهر أو أخفى. و كان بعضهم يتعوذ حين يفتتح قبل أم القرآن و بذلك أقول. و أحب أن يقول: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. و إذا استعاذ بالله من الشيطان الرجيم, و أي كلام استعاذ به أجزأه. و يقوله فى أول ركعة.   
(Dan yang manapun dilakukan oleh seseorang, baik ia jaharkan bacaan ta`awwudz maupun ia pelankan, sudah cukup dan dibolehkan baginya. Dan sebagian sahabat berta`awwudz ketika memulai [shalat] sebelum membaca ‘Ummul Qur’an; dan demikianlah aku katakan. Dan saya suka orang yang shalat membaca: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم Dan apabila ia memohon perlindungan dengan Allah dari syaitan yang terkutuk, dan kalimat ta`awwudz manapun yang ia baca sebagai lafaz ta`awwudznya sudah cukup baginya. Dan aku suka ia membacanya pada awal rakaat.)
و قد قيل: إن قاله حين يفتتح كل ركعة قبل القراءة فحسن, و لا آمر به فى شيئ من الصلاة. أمرت به فى أول ركعة. و إن تركه ناسيا أو جاهلا أو عامدا لم يكن عليه إعادة و لا سجود سهو. و أكره له تركه عامدا.

(Ada yang berpendapat: “,Bagus jika dibaca ta`awwudz ketika memulai setiap rakaat sebelum membaca [Faatihah/ al-Qur’an].” Dan saya tidak menyuruh demikian pada shalat manapun. Saya menyuruh membacanya pada rakaat pertama. Jika tidak dibaca karena lupa atau tidak tahu atau karena sengaja, tidak perlu baginya mengulangi dan tidak sujud sahwi. Makruh baginya meninggalkan ta`awwudz dengan sengaja.)

و أحب إذا تركه فى أول ركعة أن يقول فى غيرها. و إنما منعنى أن آمره أن يعيد أن النبي صلى الله عليه و سلم علم رجلا ما يكفيه فى الصلاة, فقال: كبر ثم اقرأ. (قال) و لم يرو عنه أنه أمره بتعوذ و لا افتتاح. فدل على أن افتتاح رسول الله صلى الله عليه و سلم اختيار, و أن التعوذ مما لا يفسد الصلاة إن تركه."[23]

(Apabila tidak dibaca ta`awwudz pada rakaat pertama, aku suka ia baca pada rakaat lainnya. Yang mencegah saya menyuruhnya mengulangi, karena Nabi SAW mengajari seorang lelaki apa yang cukup baginya dalam shalat. Maka beliau bersabda: “Bertakbirlah engkau, kemudian bacalah al-Qur’an.”[24] [Kata Syafii]: Tidak ada diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau menyuruh lelaki itu berta`awwud dan tidak iftitah. Ini menunjukkan bahwa iftitah Rasulullah SAW hanya tergolong sunat sehingga boleh memilih antara membaca dan tidak membacanya; dan juga menunjukkan bahwa tak membaca ta`awwudz tidak membatalkan shalat.)  

Dasar hukum membaca ta`awwudz dalam shalat

Dasar hukum membaca ta`awwudz dalam shalat adalah sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW membaca ta`awwudz dalam shalat beliau sebagaimana dapat dilihat pada banyak hadis.
Pertama, disebutkan oleh Imam Syafii di dalam al-‘Umm hadis dari Shalih bin Abu Shalih, bahwa ia mendengar Abu Hurairah r.a. sewaktu mengimami manusia, ia mengangkat [menguatkan] suaranya [dengan membaca]:   رَبَّنَا إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ  pada shalat fardu dan apabila selesai dari membaca ‘Ummul Qur’an.” Kata Imam Syafii: “Dan Ibnu Umar membaca ta`awwudz untuk dirinya [hanya ia yang mendengarnya).” Karena itu, menurut Imam Syafii, yang manapun dari kedua cara tersebut dilakukan oleh seseorang dalam shalat sudah cukup baginya, baik ia jaharkan bacaan ta`awwudz maupun ia ringankan.”[25]
Kedua, Imam al-Qurtubi di dalam tafsirnya, al-Jaami` li Ahkaam al-Qur’aan sebagai berikut:

قال الإمام أحمد بن حنبل رحمه الله: حدثنا محمد بن الحسن بن أنس حدثنا جعفر بن سليمان عن علي بن علي الرفاعي اليشكري عن أبي المتوكل الناجي عن أبي سعيد الخدري قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قام من الليل فاستفتح صلاته وكبر قال: «سبحانك اللهم وبحمدك, وتبارك اسمك وتعالى جدك, ولا إله غيرك ويقول لا إله إلا الله ثلاثاً ـ ثم يقول ـ أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم من همزه ونفخه ونفثه» وقد رواه أهل السنن الأربعة من رواية جعفر بن سليمان عن علي بن علي وهو الرفاعي, وقال الترمذي: هو أشهر شيء في هذا الباب, وقد فسر الهمز بالموتة وهي الخنق, والنفخ بالكبر والنفث بالشعر, كما رواه أبو داود وابن ماجه.[26]

(Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: Muhammad bin al-Hasan bin Anas menyampaikan hadis kepada kami, disampaikan kepada kami oleh Ja`far bin Sulaiman, dari Ali bin Ali ar-Rifai al-Yusykariy, dari Abu al-Mutawakkil an-Najiy, dari Abu Sa`id al-Khudriy, ia berkata: “,Apabila Rasulullah SAW mendirikan shalat pada waktu malam (qiyamul lail), beliau memulai shalatnya, dan sesudah bertakbir beliau membaca: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ, وَ تَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ, وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ dan membaca: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ [tiga kali]; kemudian membaca: أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمَزِهِ وَ نَفَخِهِ وَ نَفَثِهِ. Dan hadis ini telah diriwayatkan oleh ahlu sunan yang empat [Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah] dari riwayat Ja`far bin Sulaiman, dari Ali bin Ali yaitu ar-Rifa`iy. Dan at-Tirmidzi mengomentarinya: “,Hadis ini yang paling masyhur dalam bab ini.” Dan Nabi SAW menjelaskan makna kata al-hamaz berarti al-khunuq (cekikan); al-nafakh berarti al-kibr (takbur); dan al-nafats berarti al-syi`r (syair) sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.)

Keutamaan membaca ta`awwudz

Dari lafaz ta`awwudz dapat dipahami bahwa orang yang membaca kalimat ini mendapat perlindungan dari Allah SWT dari gangguan setan. Setan merupakan musuh manusia paling nyata. Seluruh aktivitas setan hanya untuk satu tujuan, yaitu untuk menyesatkan Bani Adam. Permusuhan ini berawal dari dendam kesumat Iblis [kakek para setan] dengan Adam a.s. [kakek para manusia] ketika masih di surga.
Iblis la`natullah `alaihi bermohon kepada Allah SWT agar dipanjangkan usianya sampai menjelang hari kiamat agar dapat menggoda anak cucu Adam, supaya ramai teman-temannya di dalam neraka. Rasulullah SAW bersabda: “,Sesungguhnya setan masuk ke dalam diri manusia melalui peredaran darahnya.”[27]
Membaca ta`awwudz juga mempunyai keutamaan lainnya, yaitu menghilangkan amarah. Dalam hadis riwayat al-Bukhari Nabi SAW bersabda:
 قال البخاري: حدثنا عثمان بن أبي شيبة, حدثنا جرير عن الأعمش عن عدي بن ثابت قال: قال سليمان بن صرد رضي الله عنه. استب رجلان عند النبي صلى الله عليه وسلم ونحن عنده جلوس فأحدهما يسب صاحبه مغضباً قد احمر وجهه فقال النبي صلى الله عليه وسلم «إني لأعلم كلمة لو قالها لذهب عنه ما يجد لو قال أعوذ  بالله من الشيطان الرجيم» فقالوا للرجل ألا تسمع ما يقول رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إني لست بمجنون, وقد رواه أيضاً مع مسلم وأبي داود والنسائي من طرق متعددة عن الأعمش به.[28]

(Al-Bukhari berkata: Utsman bin Abi Syaibah menyampaikan hadis kepada kami, disampaikan kepada kami oleh Jarir, dari al-A`masy, dari `Adiy bin Tsabit, ia berkata, Sulaiman bin Shard r.a. berkata, “Dua lelaki saling memaki di dekat Nabi SAW sedangkan kami duduk di dekat beliau. Salah seorang dari keduanya memaki sahabatnya, dengan amat marah sampai merah mukanya.” Maka Nabi SAW bersabda: “,Sesungguhnya aku tahu satu kalimat, kalau ia baca, maka hilang marah yang ada [dalam dirinya], kalau ia membaca:  أعوذ بالله من الشيطان الرجيم [Aku berlindung dengan Allah daripada setan yang terkutuk]. Maka para sahabat berkata kepada lelaki yang sedang sangat marah itu: “,Apakah kamu tidak dengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW? Jawab lelaki tersebut: “,Sesungguhnya saya ini bukan gila.” Dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, an-Nasai dari berbagai thuruq (jalur) daripada al-A`masy.) 

Hadis ini menunjukkan bahwa setan mempunyai peran besar dalam membangkitkan ghadhab [amarah] di dalam jiwa manusia. Dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa “,Amarah berasal dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, siapapun di antara kamu yang bangkit amarahnya, hendaklah ia mengambil air wudhu’.” Demikian kurang lebih pesan dan perintah dari Rasulullah SAW kepada umatnya.
Membaca ta`awwudz berarti menyebut lafzhul jalaalah, ismu al-Dzaat, yaitu lafaz: الله [Allah]. Lafazh ini khusus nama Allah. Tidak boleh memanggil siapapun selain Dia, dengan lafaz agung ini. Bacaan ta`awwudz, terutama ketika mengucapkan lafazh Allah hendaklah disertai dengan tadabbur yang sungguh-sungguh dalam jiwa. Bacaan yang disertai tadabbur akan menghasilkan getaran sipritual dahsyat dalam jiwa dan menyebar ke sekujur tubuh. Setan yang telah menyusup ke jiwa manusia melalui peredaran darahnya, pada saat itu juga keluar dari dalam dirinya dan lari menjauh karena tidak kuat merasakan getaran dahsyat yang dihasilkan oleh bacaan ta`awwudz.
Karena itu setan tidak akan kuat mendekat kepada wali-wali Allah. Sebab hati dan sekujur tubuh mereka senantiasa penuh dengan getaran-getaran sipritual yang dihasilkan zikrullah.
Pada satu waktu sejumlah kaum muslimat berada di sekitar Rasulullah SAW bertanya pelbagai ajaran Islam. Namun ketika Umar r.a. datang hendak menemui Rasulullah SAW beberapa dari mereka bergegas-gegas pergi karena takut kepada Umar. Maka Rasulullah SAW Bersabda yang maksudnya: “,Demi Allah, sekiranya engkau Umar melalui satu jalan, dan setan juga melalui jalan itu, pasti ia akan menempuh jalan yang lain.”
Demikian dahsyatnya pengaruh zikrullah dan tawakkal kepada Allah yang terpatri di dalam jiwa Umar al-Faruqi, sehingga syaitan tidak kuat berdekatan dengannya. Getaran sipritual dari zikrullah yang sudah mendarah-daging dalam tubuh Umar r.a. menghasilkan kekuatan-kekuatan yang dapat menghanguskan syaitan.
Allah SWT berfirman:

فإذا قرأت القرآن فاستعذ الله من الشيطان الرجيم * إنه ليس له سلطان على الذين آمنوا وعلى ربهم يتوكلون * إنما سلطانه على الذين يتولونه والذين هم به مشركون.[29]

Artinya:
Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah.

Membaca al-Faatihah

Membaca surat al-Faatihah salah satu rukun shalat. Ubadah bin as-Shamit  r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda:
لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ.[30]
Artinya:
Tidak sah shalat orang yang tidak membaca surat al-Faatihah.

Abu as-Sa’ib, Mawla Hisyam Ibnu Zuhrah,   mendengar Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “,Siapa yang mendirikan satu shalat yang dia tidak membaca Ummul Qur’an padanya, maka shalatnya kebohongan, shalatnya kebohongan, shalatnya kebohongan, [shalatnya] tidak sempurna.” Aku katakan: ‘Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya aku kadang-kadang berada di belakang imam? Maka ia pegang lenganku, dan berkata: “,Bacalah Ummul Qur’an dalam dirimu, wahai orang Persia! Sebab saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, Allah SWT berfirman: “,Aku bagi shalat di antara-Ku dan di antara hamba-Ku dua bagian. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa-apa yang dia minta. Rasulullah SAW bersabda: Apabila hamba membaca:   اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ maka Allah SWT berfirman: حَمِدَنِي عَبْدِى (Hamba-Ku memuji-Ku); dan apabila hamba membaca: اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ maka Allah SWT berfirman: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِى (Hamba-Ku menyanjung-Ku); apabila hamba membaca: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ maka Allah SWT berfirman: مَجَّدَنِي عَبْدِى (Hamba-Ku memuliakan-Ku); dan apabila hamba membaca:  إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ [maka Allah SWT berfirman]: فَهَذِهِ الْآيَةُ يَبْنِى وَ بَيْنَ عَبْدِى وَ لِعَبْدِى مَا سَأَلَ (maka ayat ini [Aku bagi] antara Aku dengan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa-apa yang dia minta); dan apabila hamba membaca:

 اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّآلِّيْنَ

[maka Allah SWT berfirman]: فَهَؤُلَاءِ لِعَبْدِى وَ لِعَبْدِى مَا سَأَلَ  (Semua yang dimintanya ini untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa-apa yang ia minta).[31]
Membaca آمِيْنَ

Sesudah selesai membaca surat al-Faatihah, bacalah kalimat: آمِيْنَ  atau berhenti sebentar sebelum membaca آمِيْنَ  
Disunatkan menjaharkan bacaan surat al-Faatihah dan kalimat  آمِيْنَ pada rakaat pertama dan rakaat kedua pada shalat subuh, magrib, isya dan shalat jahar lainnya.
Dalam shalat berjamaah, makmum disunatkan membacanya setelah imam selesai membaca al-Faatihah. An-Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis sahih dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “,Apabila imam telah membaca: غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ  maka hendaklah kamu baca آمين karena sesungguhnya para malaikat membaca ‘aamiin. Sesungguhnya barangsiapa yang bacaan ‘aamiin-nya bersamaan dengan bacaan ‘aamiin para malaikat, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.[32]

Wajib membaca al-Faatihah meskipun imam menjaharkan bacaan

`Ubadah Bin as-Shamit r.a. berkata: “,Rasulullah SAW shalat bersama kami sebagian shalat yang padanya dijaharkan bacaan, maka beliau bersabda: “,Janganlah salah seorang kamu membaca apabila aku menjaharkan bacaan, kecuali Ummul Qur’an.” Hadis ini sahih menurut Abu Dawud, dan dha`if menurut an-Nasai.[33] Karena itu makmum diwajibkan membaca surat al-Faatihah meskipun imam sedang membaca ayat-ayat al-Qur’an.  

Membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Ada tiga pendapat ulama tentang  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِapakah termasuk ayat surat al-Faatihah atau tidak. Pendapat tersebut dapat dilihat dalam berbagai kitab di antaranya tafsir al-Qurtubi, Juzu’ 1, sebagai berikut:

وَ قَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي هَذَا الْمَعْنَى عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ: (اَلْأَوَّلُ) لَيْسَتْ بِآيَةٍ مِنَ الْفَاتِحَةِ وَلَا غَيْرِهَا، وَ هُوَ قَوْلُ مَالِكٍ. (اَلثَّانِي) أَنَّهَا آيَةٌ مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ، وَ هُوَ قَوْلُ عَبْدِاللهِ بْنِ الْمُبَارَكِ. (اَلثَّالِثُ ) قَالَ الشَّافِعِيُّ: هِيَ آيَةٌ فِي الْفَاتِحَةِ، وَ تَرَدَّدَ قَوْلُهُ فِي سَائِرِ السُّوَرِ، فَمَرَّةً قَالَ: هِيَ آيَةٌ مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ، وَ مَرَّةً قَالَ: لَيْسَتْ بِآيَةٍ إِلَّا فِي الْفَاتِحَةِ وَحْدَهَا. وَ لَا خِلَافَ بَيْنَهُمْ فِي أَنَّهَا آيَةٌ مِنَ الْقُرْآنِ فِي سُوْرَةِ النَّمَلِ.

Artinya:
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ termasuk ayat surat al-Faatihah atau tidak kepada tiga pendapat: Pertama, Basmalah tidak termasuk ayat al-Faatihah dan tidak ayat dari surat-surat lainnya, dan ini pendapat Imam Malik bin Anas ra. (Pendiri mazhab Maliki); Kedua, bahwa Basmalah satu ayat dari setiap surat al-Qur’an, dan ini pendapat Abdullah bin al-Mubarak ra.; Ketiga, Imam as-Syafi`i berkata: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ satu ayat dalam surat al-Faatihah. Namun Syafi`i ragu apakah بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ termasuk ayat pada surat-surat lain. Karena itu satu kali, ia katakan bahwa بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ  satu ayat pada setiap surat; namun satu kali lagi ia katakan tidak termasuk ayat kecuali pada surat al-Faatihah saja. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ termasuk ayat pada surat an-Naml [27] ayat 30:

قَالَتْ يَاأَيُّهَا الْمَلَؤُاْ إِنِّى أُلْقِيَ إِلَيَّ كِتَابٌ كَرِيْمٌ. إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَ إِنَّهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. ( النمل: 26-27) 

Dasar pendapat tiga golongan ulama tersebut, sebagaimana ditulis oleh al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya juzu’ 1, sebagai berikut:
  
وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ بِمَا رَوَاهُ الدَّارُقُطْنِيُّ مِنْ حَدِيْثِ أَبِي بَكْرِ الْحَنَفِيِّ عَنْ عَبْدِالْحُمَيْدِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ نُوْحٍ بْنِ أَبِي بِلَالٍ عَنْ سَعِيْدٍ بْنِ أَبِي سَعِيْدٍ الْمَقْبَرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِذَا قَرَأْتُمْ اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ إِنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ وَ أُمُّ الْكِتَابِ وَ السَّبْعُ الْمَثَانِيُّ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَحَدُ آيَاتِهَا). رَفَعَ هَذَا الْحَدِيْثَ عَبْدُالْحُمَيْدِ بْنُ جَعْفَرٍ، وَ عَبْدُالْحُمَيْدِ هَذَا وَثَقَهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَ يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ وَ يَحْيَى بْنُ مُعِيْنٍ، وَ أَبُوْ حَاتِمٍ يَقُوْلُ فِيْهِ: مَحَلُّهُ الصِّدْقُ، وَ كَانَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ يُضَعِّفُهُ وَ يُحْمِلُ عَلَيْهِ. وَ نُوْحٌ بْنُ أَبِي بِلَالٍ ثِقَةٌ مَشْهُوْرٌ.
Artinya:
Imam Syafi`i beralasan dengan hadis yang juga diriwayatkan oleh ad-Daruqutuni dari Abu Bakar al-Hanafi dari Abdul Humaid bin Ja`far dari Nuh bin Abu Bilal dari Sa`id bin Abu Sa`id al-Maqbari dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: “,Apabila kamu membaca اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ maka bacalah بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Karena itu adalah Ummul Qur’an dan Ummul Kitab dan as-sab`u al-Matsaaniy, dan  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِsatu dari ayat-ayat
nya.” Abdul Hamid bin Ja`far mengangkat hadis ini (hadis marfu`), dan Abdul Humaid ini tergolong tsiqah (jujur, adil dan kuat ingatan) menurut Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Sa`id dan Yahya bin Mu`in. Dan Abu Hatim mengomentarinya: Posisinya sebagai orang jujur. Namun Sufyan ats-Tsauri mengatakan Abdul Humaid dha`if (lemah) dan menggolongkan yang diriwayatkannya sebagai hadis dha`if. Dan Nuh bin Bilal dikenal tsiqah.
  
وَ حُجَّةُ ابْنِ الْمُبَارَكِ وَ أَحَدُ قَوْلَي الشَّافِعِيِّ مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: بَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهَرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا، فَقُلْنَا: مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: (أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُوْرَةً) فَقَرَأَ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ, إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ(1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ(2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ(3) [اَلْكَوْثَر: الآية 1-3 ], ثُمَّ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْكَوْثَرُ؟ فَقُلْنَا : اَللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيْهِ رَبِّى عَزَّ وَ جَلَّ, عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ, هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ, آنِيَتُهُ عَدَدُ نُجُوْمِ السَّمَاءِ (النُّجُوْمِ) فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ, فَأَقُوْلُ: رَبِّ! إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِى , فَيَقُوْلُ: مَا تَدْرِى مَا أَحْدَثَتْ بَعْدَكَ.[34]

Artinya:
Alasan Abdullah bin al-Mubarak dan salah satu dari dua pendapat Imam Syafi`i ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Anas, ia berkata: “,Pada suatu hari sewaktu Rasulullah SAW berada di belakang kami, ketika beliau tertidur sebentar sekali, kemudian beliau mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum; maka kami tanyakan: “Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah? Beliau jawab: “,Karena baru saja tadi diturunkan kepadaku satu surat, maka beliau membaca:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ, إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَ انْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. (سورة الكوثر).
Kemudian beliau bertanya: “,Tahukah kamu apakah al-Kawtsar? Kami jawab: “,Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “,Sesungguhnya al-Kawtsar ialah satu sungai di Surga yang dijanjikan untukku oleh Tuahnku `Azza wa Jalla, di atasnya ada banyak kebaikan, ia adalah satu telaga yang didatangi oleh umatku pada hari kiamat, bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang di langit. Ditarik seorang hamba dari mereka, maka aku katakan: “,Wahai Tuhan-ku, sesungguhnya ia termasuk dari umatku. Maka Allah SWT berfirman: “,Engkau tidak tahu apa yang telah terjadi sesudah (wafat)-mu.”
 
Dan alasan Imam Malik bin Anas r.a. ialah:

وَ الْحَدِيْثُ خَرَجَهُ الْبُخَارِي عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ بْنِ الْمُعَلَّى قَالَ: كُنْتُ أُصَلِّي فِي الْمَسْجِدِ فَدَعَانِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي فَقَالَ: أَلَمْ يَقُلِ اللهُ "اِسْتَجِيْبُوْا ِللهِ وَ ِللرَّسُوْلِ إِذَا دَعَاكُمْ" [الأنفال: 24] - ثُمَّ قَالَ لِى: - (إِنِّي لَأُعَلِّمَنَّكَ سُوْرَةً هِيَ أَعْظَمُ السُّوَرِ فِي اْلقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنَ الْمَسْجِدِ ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ قُلْتُ لَهُ: أَلَمْ تَقُلْ لَأُعَلِّمَنَّكَ سُوْرَةً هِيَ أَعْظَمُ سُوْرَةٍ فِي اْلقُرْآنِ؟ قَالَ: اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِيُّ وَ الْقُرْآنُ اْلعَظِيْمُ الَّذِي أُوْتِيْتُهُ).[35]
 
Artinya:
Dan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Sa`id bin al-Mu`allaa, ia berkata: “,Aku sedang shalat dalam masjid, maka Rasulullah SAW memanggilku, maka tidak aku jawab. (Setelah shalat) aku katakan: Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi aku sedang shalat.” Sabda Nabi SAW: “,Bukankah Allah telah berfirman: Penuhilah panggilan Allah dan Rasul apabila ia telah memanggil kamu! (al-Anfaal: 24). Kemudian beliau bersabda: “,Sesungguhnya aku mau mengajarimu satu surat, ia surat paling agung dalam al-Qur’an, nanti sebelum kamu keluar masjid, kemudian beliau memegang tanganku.” Ketika aku lihat Rasulullah SAW hendak keluar masjid, aku katakan padanya: “,Bukankah Rasulullah katakan akan mengajariku satu surat paling agung dalam al-Qur’an? Sabda beliau:  اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ  ia adalah tsab`ul matsaniy (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dalam shalat), dan al-Qur’an yang agung yang diturunkan kepadaku.”

Alasan lainnya bagi ulama yang mengatakan bahwa BASMALAH tidak termasuk ayat al-Faatihah adalah hadis sahih riwayat Anas r.a., ia berkata: “,Saya telah shalat bersama Rasulullah SAW., Abu Bakar, Umar, dan Utsman, saya tidak mendengar salah seorang pun dari mereka yang membaca Bismillaahirrahmaanirrahiim.”[36]

Perlu ditegaskan bahwa tidak ada ulama yang mengatakan cacat bacaan al-Faatihah dan surat kalau didahului dengan membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ padanya. Oleh karena itu, penulis memilih untuk membaca BASMALAH pada al-Faatihah dan pada surat-surat lain kecuali at-Tawbah.
Menurut penulis, membaca basmalah merupakan pilihan terbaik dari tiga pendapat tersebut di atas. Sebab, kalau pendapat Imam Muhammad bin Idris as-Syafii yang benar dalam pandangan ilmu Allah SWT, maka orang yang shalat pun telah membacanya. Dan sekiranya pendapat Imam Malik bin Anas r.a. yang benar, bacaan al-Faatihah-nya juga tidak cacat meskipun dibaca BASMALAH.
Perdebatkan ulama tentang tsiqah Abdul Humaid bin Ja`far r.a., salah seorang perawi dalam sanad hadis riwayat ad-Daruqutuni yang menjadi dasar pendapat Imam as-Syafii, tidak menghalangi penulis untuk mengikuti Imam Syafii dalam masalah ini. Sebab, meskipun Sufyan ats-Tsauri mengatakan Abdul Humaid tidak tsiqah, namun sejumlah ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Sa`id, Yahya bin Mu`in, dan Abu Hatim justru menggolongkan Abdul Humaid sebagai tsiqah. Dengan demikian selain dari as-Syafii masih terdapat ulama hadis lain yang mengatakan bahwa Abdul Humaid bin Ja`far tergolong tsiqah. [37]
Makruh membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ sebelum membaca ayat-ayat surat at-Tawbah. Bahkan di dalam tafsir al-Jalaalayn disebutkan pendapat yang mengatakan haram membaca BASMALAH pada awal surat at-Tawbah, dan makruh pada pertengahannya. Sebab surat ini banyak membicarakan peperangan dan siksaan atas orang-orang musyrik, kafir dan pelaku dosa besar yang tidak bertaubat. Sehingga dalam konteks ini, kurang relevan menonjolkan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang Allah SWT yang terkandung dalam kalimat BASMALAH.
Alasan lainnya karena para sahabat tidak menulis BASMALAH pada awal at-Tawbah dalam Mushaf al-Imam. Dalam hal ini Khalifah Rasyidin yang ketiga, Utsman bin `Affan r.a. sependapat dengan mereka sebagaimana dapat kita lihat dalam al-Qur’an Mushaf Utsmani. Karena itu membaca surat at-Tawbah, baik dalam shalat maupun di luar shalat, cukup dimulai dengan ta`awwudz tanpa membaca BASMALAH.[38]

Makmum dilarang menjaharkan bacaan

Dilarang bagi makmum menguatkan bacaannya, baik dalam shalat sirr maupun shalat jahar. Sebab hal demikian dapat membuat bimbang imam dan jemaah lain.
`Imran bin Hushain r.a. berkata: “,Rasulullah SAW shalat zuhur bersama kami –atau shalat ashar-; (setelah selesai shalat) beliau bertanya: “,Siapa di antara kalian yang di belakangku membaca: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى؟  Seorang lelaki menjawab: “,Saya, dan tidak ada yang aku harapkan dengan membacanya kecuali kebaikan." Nabi SAW bersabda: “,Sesungguhnya aku telah tahu bahwa sebagian kamu membuatku bimbang.[39]

  1. Imam diam (tidak membaca) sebentar.
Abu Dawud meriwayatkan bahwa Qatadah diberitahu oleh al-Hasan bahwa “,Samurah bin Jundub dan `Imran bin Hushain mudzakarah (berdiskusi). Samurah bin Jundub mengatakan bahwa ia menghapal dari Rasulullah SAW dua kali diam (tidak membaca) dalam shalat: Pertama, apabila beliau telah takbir; Kedua, apabila telah selesai membaca غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّآلِّيْنَ maka Samurah mengahapal dan memelihara hal itu. Akan tetapi hadis yang disampaikan oleh Samurah ini dibantah oleh `Imran bin Hushain. Karena itu mereka mengirim surat kepada Ubay bin Ka`ab. Dalam surat balasannya kepada mereka berdua, Ubay bin Ka`ab menyebutkan bahwa apa yang telah dihapal dan dipelihara oleh Samurah adalah benar”.[40]
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW diam setelah selesai membaca surat”.[41]
Dan Abu Hurairah r.a. berkata: “,Apabila Rasulullah SAW telah bertakbir dalam shalat, beliau diam di antara takbir dan bacaan, maka aku katakan kepadanya, ‘Beritahulah saya apa yang engkau baca.” Nabi SAW bersabda:
 
اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَ بَيْنَ خَطَايَا كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ. اَللَّهُمَّ أَنْقِنِي مِنْ خَطَايَايَ كَالثَّوْبِ الْأَبْيَضِ مِنَ الدَّنَسِ. اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِي بِالثَّلْجِ وَ الْمَاءِ وَ الْبَرَدِ.[42]
Artinya:
Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahan sebagaimana Engkau jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku seperti kain putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, bersihkanlah aku dengan salju, air, dan air dingin.

Hadis tersebut dasar bagi ulama yang menganjurkan imam untuk diam sebentar setelah selesai membaca surat al-Faatihah. Salah satu hikmah diam ini agar ada waktu bagi makmum untuk membaca al-Faatihah atau menyelesaikan bacaan al-Faatihah dengan khusyu`. Sebab, kekhusyukan tidak dapat dimaksimalkan kalau dalam waktu yang sama harus mendengarkan bacaan imam yang langsung membaca surat sesudah al-Faatihah.  
Dengan merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub dan `Imran bin Hushain r.a., al-Ghazali dalam Ihyaa’ `uluum al-diin  menyebutkan tiga tempat diam bagi imam sewaktu berdiri, yaitu: Pertama, apabila ia telah membaca takbiratul ihram. Diam di sini lebih lama daripada diam pada dua tempat berikutnya, yaitu sekadar waktu yang cukup bagi makmum untuk membaca Faatihatul Kitaab. Dalam masa ini sebenarnya imam tidak diam akan tetapi membaca doa iftitah. Kalau imam tidak diam tetapi malah membaca al-Faatihah dan surat, maka makmum tidak dapat membaca al-Faatihah dengan sempurna. Sebab dalam waktu yang sama juga harus mendengarkan bacaan al-Qur’an. Kalau ini terjadi, maka kekurangan bacaan makmum menjadi tanggungjawab imam. Kalau imam sudah diam tetapi makmum sibuk membaca yang lain, bukan membaca al-Faatihah, maka kekurangan bacaannya tanggungjawabnya, bukan tanggungjawab imam.
Kedua, imam diam sesudah selesai membaca al-Faatihah. Kadarnya setengah dari waktu berdiam sesudah takbiratul ihram. Tujuannya, agar makmum yang belum selesai membaca al-Faatihah dapat menyelesaikan bacaannya.
Ketiga, imam diam sebentar sesudah selesai membaca surat, sebelum rukuk. Diam di sini paling sebentar, yaitu hanya sekadar memisahkan antara waktu membaca surat dengan takbir intiqaal (takbir untuk berpindah ke rukun fi`li berikutnya). Sebab dilarang menyambung bacaan ayat al-Qur’an dengan ucapan takbir. Ketika imam menjaharkan bacaan, makmum tidak boleh membaca kecuali surat al-Faatihah. Jika imam tidak diam, maka makmum membaca al-Faatihah bersamanya, dan yang berkurang nilainya adalah pahala imam. Kalau makmum tidak dapat mendengar bacaan imam, karena jauh shaf-nya atau karena sebab lain, maka ia tidak dilarang membaca surat atau ayat-ayat al-Qur’an”.[43]      

  1. Tomakninah
Tomakninah ialah berhenti sebentar. Diwajibkan tomakninah pada waktu rukuk, iktidal, sujud, dan duduk antara dua sujud. Ini semuanya termasuk dari rukun shalat dan disebut rukun fi`li (rukun perbuatan yang dilakukan oleh anggota badan). Tidak diwajibkan membaca tasbih dan doa pada rukun fi`li yang empat macam ini. Namun wajib tomakninah (berdiam sebentar), karena tomakninah syarat sahnya rukuk, iktidal, sujud, dan duduk antara dua sujud.
Al-Bukhari meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah r.a., bahwa pada satu waktu Rasulullah SAW masuk masjid. Kemudian seorang lelaki masuk, dan ia pun shalat. (Setelah selesai shalat) lelaki itu mengucapkan salam kepada Nabi SAW. Nabi SAW menjawab salamnya, dan beliau bersabda: “,Kembalilah, maka shalatlah engkau. Sesungguhnya engkau belum shalat”. Maka ia kembali shalat sebagaimana shalat yang telah ia lakukan. Kemudian ia datang dan mengucapkan salam kepada Nabi SAW. Sabda Nabi SAW: “,Kembalilah, maka shalatlah engkau. Sesungguhnya engkau belum shalat”, (hal sedemikian sampai tiga kali). Maka lelaki itu berkata: “,Demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan benar, saya tidak dapat melakukan lagi yang lebih baik daripada itu, karena itu ajarilah aku”. Sabda Nabi SAW: “,Apabila engkau telah berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah ayat-ayat al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian rukuklah hingga engkau tomakninah (berdiam) dalam keadaan rukuk, kemudian bangkitlah hingga engkau tegak lurus dalam keadaan berdiri, kemudian sujudlah hingga engkau tomakninah dalam keadaan sujud, kemudian bangkitlah hingga engkau tomakninah dalam keadaan duduk, dan perbuatlah yang sedemikian dalam shalatmu pada setiap (rakaat)-nya”.[44]
Salah satu ajaran yang diperoleh dari hadis ini ialah wajibnya tomakninah (berhenti sebentar). Karena itu sebagian ulama mengatakan tomakninah termasuk rukun shalat atau rukun yang ke-14. Sedangkan ulama lainnya mengatakan tomakninah sebagai syarat rukuk, iktidal, sujud dan duduk antara dua sujud. Artinya rukuk, iktidal, sujud dan duduk antara dua sujud tidak sempurna dan tidak sah tanpa tomakninah padanya.
Kedua pendapat ini sebenarnya sama. Sebab substansi dari dua pendapat ini ialah mestinya tomakninah (berhenti sebentar) pada waktu rukuk, iktidal, sujud dan duduk antara dua sujud.

  1. Sujud dan tasbih padanya
Setelah selesai membaca tahmid dalam iktidal, kemudian turun untuk sujud, sambil mengucapkan takbir tanpa mengangkat kedua tangan.
Ketika hendak sujud, letakkan dua lutut terlebih dahulu, kemudian dua tangan, kemudian kening dan hidung. Letak dua telapak tangan sejajar dengan bahu dan angkat kedua siku, jari-jari tangan dilepaskan (tidak digenggam) dan dirapatkan serta dihadapkan kearah kiblat. Kedua tumit ditegakkan dan dihadapkan hujung jari-jari kaki kearah kiblat, kedua lutut diregangkan, demikian pula kedua tumit juga diregangkan. Perut direnggangkan dari paha, direnggangkan kedua lengan dari lambung selain perempuan. Perempuan dalam sujud, merapatkan kedua siku dengan lambungnya, kedua lutut dan juga kedua tumitnya.
Setelah diam dalam sujud, baca tasbih tiga kali sebagai berikut:

سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأََعْلَى وَ بِحَمْدِهِ.[45]
Artinya:
Mahasuci Tuhan-ku Yang Mahatinggi dan Mahaterpuji.

Demikian cara sujud menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii berdasarkan kajian mereka terhadap Sunnah Rasulullah SAW.  Namun ini berbeda dengan cara Imam Malik bin Anas.
Cara sujud menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii ialah meletakkan kedua lutut terlebih dahulu, kemudian meletakkan kedua tangan, kemudian wajah (kening dan hidung).
Kedua ulama pendiri mazhab ini beralasan dengan berbagai hadis di antaranya riwayat Wail bin Hujr r.a., ia berkata: “,Saya melihat Nabi SAW apabila beliau sujud, ia letakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit ia angkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.[46] Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “,Aku diperintahkan bersujud atas tujuh anggota tubuh: atas kening –dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya atas hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut, dan hujung-hujung kedua tumit, dan tidak mengimpunkan kain dan rambut”.[47]
Dilarang membentangkan lengan dalam sujud. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “,Luruslah kamu dalam sujud, dan janganlah salah seorang kamu memhamparkan kedua hastanya sebagaimana anjing menghamparkannya”.[48] Al-Barra’ r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “,Apabila kamu sujud, maka letakkanlah kedua telapak tanganmu, dan angkat kedua sikumu”.[49] Dari Abdullah bin Malik bin Buhainah r.a.: “,Bahwasanya apabila Rasulullah SAW shalat beliau membuka kedua tangannya sehingga tampak jelas putih kedua ketiaknya”.[50] `Amru bin al-Harits r.a. meriwayatkan: “,Adalah Rasulullah SAW apabila beliau sujud, beliau membuat kedua lengannya seperti sayap (mujannih) dalam sujudnya sehingga terlihat bagian tengah kedua ketiaknya”.[51] Maimunah r.a. isteri Nabi SAW berkata: “,Apabila Rasulullah SAW sujud beliau renggangkan kedua tangannya, yakni mujannih (membentangkan tangan seperti sayap) sehingga terlihat bagian tengah kedua ketiaknya. Dan apabila duduk, beliau berdiam di atas pahanya yang kiri”.[52] Dan sabda Rasulullah SAW: “,Apabila engkau sujud, maka letakkan kedua telapak tanganmu, dan angkat kedua sikumu.”[53]
Menurut Imam Malik, ketika hendak sujud terlebih dahulu meletakkan kedua telapak tangan, kemudian lutut, kemudian kening. Pendiri mazhab Maliki ini beralasan dengan berbagai hadis di antaranya riwayat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “,Apabila salah seorang kamu sujud, maka janganlah ia berdiam sebagaimana berdiamnya unta, dan hendaklah ia letakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.[54]
Ibnu Hajar al-`Asqallani mengemukakan dalam Fath al-Baariy, “,Menurut al-Khattabi, hadis riwayat Wail bin Hujr di atas lebih sahih daripada hadis riwayat Abu Hurairah ini. Karena itu Imam an-Nawawi menegaskan, tidak pantas mentarjih (menguatkan) salah satu dari dua mazhab tersebut kalau dipandang dari aspek Sunnah yang menjadi sumber hukumnya”.[55]
Menurut penulis, terjadi nasikh - mansukh pada cara melakukan sujud. Pada mulanya Rasulullah SAW menyuruh meletakkan kedua tangan sebelum meletakkan kedua lutut. Kemudian cara ini mansukh (dihapus) oleh hadis yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahiih-nya. Dari Mush`ab bin Sa`ad, daripada Sa`ad r.a., ia berkata: “,Kami dahulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, maka kami diperintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”.[56] Kalau hadis ini dianggap sahih sebagaimana menurut Ibnu Khuzaimah, maka dapat dipahami bahwa telah terjadi nasikh-mansukh pada cara bersujud.
Memang menurut Ibnu Hajar al-`Asqallani hadis riwayat Ibnu Khuzaimah ini dha`if. Sebab Ibrahim bin Ismail dan ayahnya, dua perawi di antara mata rantai sanad, adalah dha`if (lemah hapalannya).[57] Namun menurut penulis, kedudukan dha`if hadis ini tidak menghalangi untuk menyimpulkan telah terjadinya nasikh-mansukh. Sebab terdapat sejumlah hadis lain yang menyebutkan bahwa ketika Nabi SAW hendak sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Karena itu dapat dipahami, bahwa pada awalnya Rasulullah SAW menyuruh meletakkan kedua tangan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, kemudian beliau menyuruh sahabat meletakkan kedua lutut terlebih dahulu sebelum kedua tangan.
Paham tentang adanya nasikh – mansukh pada cara bersujud diperkuat oleh hadis riwayat Wail bin Hujr, dan disahihkan oleh Abu Dawud sebagaimana disebutkan di atas. Wail bin Hujr r.a. melihat Rasulullah SAW ketika sujud dalam shalat, beliau terlebih dahulu meletakkan kedua lututnya, sebelum kedua tangannya. Oleh sebab itu, hadis yang berasal daripada Sa`ad r.a. (sahabat), meskipun dha`if menurut al-`Asqallani akan tetapi menurut penulis dapat memperkuat hadis riwayat Wail r.a. (sahabat) yang disahihkan oleh Abu Dawud, dan sekaligus men-tarjih (memperkuat) pendapat yang mengatakan bahwa cara “,Meletakkan kedua lutut terlebih dahulu sebelum kedua tangan”, telah me-nasikh (menghapus) cara yang sebelumnya. Atau dengan kata lain, cara dengan “,Meletakkan kedua tangan terlebih dahulu sebelum kedua lutut”, telah diganti/dihapus (mansukh).
Ketika hendak bangkit dari sujud kepada rakaat berikutnya, terlebih dahulu diangkat muka, kemudian kedua tangan, kemudian terakhir kedua lutut sebagaimana dapat dipahami dari beberapa hadis tersebut di atas. Sebelum benar-benar bangkit dari sujud, duduk istirahat sebentar, kemudian bangkit untuk berdiri dengan posisi kedua tangan perpegang pada kedua paha. Abu Qilabah meriwayatkan bahwa Abu Sulaiman Malik bin al-Huwairits r.a. datang untuk memperlihatkan kepada mereka cara shalat Rasulullah SAW. Abu Qilabah menyebutkan: “,Bahwa apabila ia mengangkat kepalanya dari sujud yang terakhir pada rakaat pertama, ia duduk, kemudian ia berdiri”.[58] Dan Wail r.a. meriwayatkan: “,Dan apabila Nabi  SAW bangkit, maka beliau bangkit atas kedua lututnya dan berpegang atas pahanya”.[59]


Tasbih dan doa ketika sujud

Ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah SAW membuka tirai sewaktu manusia beberapa shaf di belakang Abu Bakar, maka beliau bersabda: “,Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada yang kekal dari pemberi berita kenabian kecuali mimpi yang benar yang dilihat oleh seorang muslim (hamba yang saleh) atau diperlihatkan kepadanya. Ketahuilah, sesungguhnya aku dilarang membaca al-Quran sewaktu rukuk atau sujud. Adapun rukuk, maka agungkanlah padanya Tuhan `Azza wa Jalla. Dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah kamu berdoa padanya, karena sangat dekat untuk dikabulkan untuk kamu”.[60] Apa yang dianjurkan oleh hadis ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nashr [110] ayat 3: “,Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat”.
Oleh karena itu, selain dari bertasbih, Rasulullah SAW juga membaca doa dalam sujudnya.
Setelah diam dalam sujud, baca tasbih tiga kali sebagai berikut:
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأََعْلَى وَ بِحَمْدِهِ.
Artinya:
Mahasuci Tuhan-ku Yang Mahatinggi dan Mahaterpuji.

Imam Syafii dalam al-‘Umm menulisnya tanpa kalimat وَ بِحَمْدِهِ Menurutnya, dengan membaca سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأََعْلَى sebanyak tiga kali maka sempurnalah tasbih pada rukuk, namun merupakan yang paling rendah kadar sempurnanya. [61] Dan ini berdasarkan hadis shahih riwayat Ibnu Mas`ud.[62] 
Menurut Imam Syafii, untuk lebih afdhalnya tambah tasbihmu dengan membaca zikir yang diriwayatkan daripada Rasulullah SAW:
اَللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَ لَكَ أَسْلَمْتُ وَ بِكَ آمَنْتُ أَنْتَ رَبِّى سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِى خَلَقَهُ وَ شَقَّ سَمْعَهُ وَ بَصَرَهُ تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ.[63]
Artinya:
Ya Allah, hanya kepada-Mu aku bersujud, dan hanya kepada-Mu aku berserah diri, dan hanya dengan-Mu aku beriman, Engkau Tuhan-ku, sujud diriku kepada Yang Menciptakan-nya dan Yang Membentuk pendengarannya dan penglihatannya, Mahasuci Allah sebaik-baik pencipta.

Diantara tasbih dan doa Rasulullah s.a.w. sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah r.a., ia berkata: “,Adalah Nabi SAW banyak membaca dalam rukuknya dan sujudnya:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِى.[64]
Artinya:
Mahasuci Engkau wahai Tuhan kami dan segala puji bagi-Mu, ya Allah berilah aku ampunan.

Aisyah r.a. berkata: “,Sejak diturunkan ayat إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ  saya lihat Rasulullah SAW dalam shalat selalu membaca:

  سُبْحَانَكَ رَبِّي وَ بِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي.[65]  
Artinya:
Mahasuci Engkau wahai Tuhan-ku dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, berilah ampunan bagiku.

Dapat dipahami bahwa tasbih dan doa ini sering sekali dibaca oleh Rasulullah SAW dalam sujudnya. Baik dengan lafaz hadis ini maupun lafaz hadis riwayat Bukhari-Muslim tersebut di atas.
Aisyah r.a. berkata: “,Aku kehilangan Nabi SAW pada satu malam. Aku sangka beliau pergi ke rumah isternya yang lain. Aku cari beliau, kemudian aku kembali. Aku dapati beliau sedang rukuk atau sujud dan membaca:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ.
Artinya:
Mahasuci Engkau ya Allah, dan segala puji untuk-Mu, tiada Tuhan selain Engkau

Maka aku katakan: “,Demi Bapak-ku dan Ibuku. Sesungguhnya aku mendugamu di rumah lain, ternyata engkau dalam keadaan yang lain”.[66] Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membaca tasbih ini pada waktu sujud dalam shalat malam (qiyamul lail).
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW membaca dalam sujudnya:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِى ذَنْبِى كُلَّهُ, دِقَّهُ وَ جِلَّهُ, وَ أَوَّلَهُ وَ آخِرَهُ, وَ عَلاَنِيَتَهُ وَ سِرَّهُ.[67]
Artinya:
Ya Allah, ampunilah dosaku seluruhnya, yang halus dan yang besar, sejak awal sampai yang terakhir, yang nyata dan yang tersembunyi.

Aisyah r.a. berkata: “,Pada satu malam aku kehilangan Rasulullah dari peraduan. Aku merabanya. Tanganku tepat meraba perut dua tumitnya sewaktu beliau dalam bersujud, kedua tumitnya tegak dan beliau sedang membaca:

اَللَّهُمَّ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ, وَ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ, وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.[68]
Artinya:
Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu daripada kemarahan-Mu, dan (aku berlindung) dengan kemaafan-Mu daripada siksa-Mu. Dan aku berlindung dengan-Mu daripada-Mu. Aku tidak dapat mempersembahkan sejumlah pujian ntuk-Mu sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu sendiri.

Aisyah r.a. memberitahu Mutharrif bin Abdullah asy-Syikhir bahwa Rasulullah SAW dalam rukuk dan sujudnya membaca:

سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَ الرُّوْحِ.[69]
Artinya:
Mahasuci dan Mahaquddus, Tuhan para malaikat dan (Tuhan) malaikat Jibril.

Ummul Mukminin Aisyah r.a. memberitahu `Urwah r.a.: “,Bahwasanya Rasulullah SAW shalat sebelas rakaat. Itulah shalat (malam) beliau, beliau sujud satu kali sujud yang lamanya sekadar waktu membaca lima puluh ayat, sebelum mengangkat kepalanya ...”.[70] Ini menunjukkan betapa sungguh-sungguhnya Rasulullah SAW bertasbih dan berdoa dalam sujudnya. Meskipun tidak disebutkan tasbih dan doa yang dibaca oleh Rasulullah SAW dalam sujud yang lama ini, namun dapat diduga bahwa beliau banyak membaca:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِى

dan atau beliau banyak membaca:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

Sebab dalam riwayat lain, Aisyah r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah SAW banyak membaca tasbih dan doa ini dalam sujud beliau sebagaimana penulis kemukakan di atas. Dan dalam Musnad Ahmad, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar al-`Asqallani dalam Fath al-Baariy,[71] disebutkan hadis melalui jalur Muhammad bin `Ibad dari `Aisyah, ia berkata: “,Rasulullah SAW membaca dalam shalat malam dalam sujudnya: سُبْحَانَكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ  Jadi mungkin kalimat ini banyak dibaca oleh Rasulullah SAW.
Ibnu Abbas r.a., berkata: “,Aku bermalam di sisi makcikku Maimunah binti al-Harits dan Rasulullah SAW bermalam di sisinya. Aku lihat beliau berdiri untuk hajatnya dan datang ke qirbah (tempat air terbuat dari kulit). Beliau membuka tali pengikatnya, kemudian berwudu, kemudian shalat, dan beliau membaca dalam sujudnya:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُوْرًا وَ اجْعَلْ فِي سَمْعِي نُوْرًا وَ اجْعَلْ فِي بَصَرِي نُوْرًا وَ اجْعَلْ مِنْ تَحْتِي نُوْرًا وَ اجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُوْرًا وَ عَنْ يَمِيْنِي نُوْرًا وَ عَنْ يَسَارِي نُوْرًا وَ اجْعَلْ أَمَامِي نُوْرًا وَ اجْعَلْ خَلْفِي نُوْرًا وَ أَعْظِمْ لِي نُوْرًا. 

(Ya Allah, jadikanlah dalam hatiku cahaya, dan jadikan pada pendengaranku cahaya, dan jadikan pada penglihatanku cahaya, dan jadikan dari bawahku cahaya, dan jadikan dari atasku cahaya, dan dari kananku cahaya, dan dari kiriku cahaya, dan jadikan di depanku cahaya, dan jadikan di belakangku cahaya, dan agungkanlah untukku cahaya)

Kemudian beliau tidur sehingga berbunyi nafasnya. Maka Bilal datang membangunkannya untuk shalat.[72]
Dari Hilal bin Yasaf ia berkata, Aisyah r.a. berkata: “,Saya kehilangan Rasulullah s.a.w. dari pembaringannya, maka aku mencarinya dengan merabanya, dan aku sangka beliau mendatangi jariyahnya, maka tanganku menyentuhnya sewaktu beliau sedang sujud dan membaca:

  اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي مَا أَسْرَرْتُ وَ مَا أَعْلَنْتُ.[73]

(Ya Allah, berilah aku ampunan atas dosa-dosa yang aku sembunyikan dan dosa-dosa yang aku nyatakan).

Keutaman sujud

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “,Saat yang paling dekat seorang hamba dengan Tuhan-nya adalah ketika ia sujud. Oleh sebab itu perbanyaklah doa dalam sujud”.[74] Dan ini sesuai dengan firman Allah SWT: “,Dan bersujudlah engkau, dan mendekatlah (kepada-Ku)”. (QS. Al-`Alaq [96] ayat 19). Dan firman-Nya: “,Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”. (QS. An-Nashr [110] ayat 3).
Ma`dan bin Thalhah al-Ya`muriy berkata: “,Aku menemui Tsauban Mawla Rasulullah SAW. Aku katakan kepadanya: Tunjukkanlah kepadaku satu amal yang bermanfaat atau memasukanku ke dalam surga! Tsauban diam sebentar, kemudian ia menghadap ke saya dan berkata: ‘Engkau harus banyak bersujud, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “,Tidaklah dari seorang hamba yang bersujud satu kali kepada Allah kecuali Allah SWT mengangkatnya dengan sujudnya itu satu derajat, dan menghapus darinya dengan sujudnya itu satu kesalahan”. Kata Ma`dan: Kemudian aku temui Abu Darda. Aku tanyakan kepadanya apa yang telah kutanyakan kepada Tsauban. Jawab Abu Darda r.a.: Engkau harus banyak bersujud, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “,Tidaklah dari seorang hamba yang bersujud satu kali kepada Allah kecuali Allah SWT mengangkatnya dengan sujudnya itu satu derajat, dan menghapus darinya dengan sujudnya itu satu kesalahan”.[75]
Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Rabi`ah bin Ka`ab al-Aslamiy, ia berkata: “,Saya pernah membawa air untuk Rasulullah SAW buat bersuci dan qadahajat. Nabi SAW bersabda: “,Mintalah kepadaku! Aku katakan: “,(Aku meminta untuk) berteman denganmu di dalam surga”. Beliau bertanya: “,Apakah ada (permintaanmu) selain itu? Aku katakan: “,Itu saja”. Sabda Nabi SAW: “,Maka tolonglah aku untuk kepentingan dirimu dengan cara banyak bersujud”.[76]
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa sekelompok manusia bertanya: “,Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan-kami pada hari kiamat? Rasulullah SAW bertanya: “,Apakah kamu terhalang melihat bulan purnama ketika tidak ada awan di bawahnya? Jawab mereka: “,Tidak, wahai Rasulullah. Beliau bertanya (lagi): “,Apakah kamu terhalang melihat matahari ketika tidak ada awan di bawahnya? Jawab mereka: “,Tidak”. Sabda Nabi SAW: “,Maka sesungguhnya kamu melihat Tuhan kamu seperti itu. Pada hari kiamat dikumpulkan manusia, maka Allah SWT berfirman: “,Siapa yang menyembah sesuatu maka hendaklah ia mengikut yang disembahnya”. Di antara mereka ada yang mengikut matahari, ada yang mengikut bulan, ada yang mengikut thaagut (berhala dan tuhan-tuhan palsu ang disembahnya). Dan umat ini tinggal pada hari kiamat, di antara mereka ada orang-orang munafik (yang ketika di dunia dianggap bagian umat juga). Maka Allah SWT datang kepada umat. Allah SWT berfirman: “,Aku adalah Tuhan kamu”. Maka mereka menjawab: ‘Inilah tempat kami menunggu sampai datang kepada kami Tuhan kami. Kalau Tuhan kami telah datang, kami akan mengenalnya’. Allah SWT datang (lagi) kepada mereka, maka Dia berfirman: “,Aku adalah Tuhan kamu”. Jawab mereka: “,Engkau Tuhan kami? Allah memanggil mereka. Dibentangkan shirat (titian) di atas neraka Jahanam. Aku adalah rasul yang pertama melewatinya bersama umatku. Ketika itu tidak diizinkan berbicara kecuali para rasul. Dan tidak ada ucapan para rasul ketika itu kecuali kalimat: “,Allahumma sallim, sallim (Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah!). Dan di  dalam Jahanam ada banyak pohon-pohon berduri seperti duri sa`dan (jenis pohon yang memiliki banyak duri tajam). (Tanya Nabi SAW): “,Apakah kamu tahu duri pohon sa`dan? Jawab mereka: “Ya”. Sabda Nabi SAW: “,Pohon itu seperti duri pohon sa`dan (pohon penuh duri), namun tidak ada yang mengetahui kadar kuat dan tajam durinya kecuali Allah, duri itu merenggut manusia sesuai dengan amal perilakunya. Di antara mereka ada yang dibinasakan disebabkan perbuatannya. Di antara mereka ada yang dipotong-potong, kemudian ia selamat. Apabila Allah bermaksud mencurahkan rahmat kepada penghuni neraka, maka Dia perintahkan malaikat mengeluarkan orang-orang yang pernah menyembah Allah, maka malaikat mengeluarkan mereka. Malaikat mengenal mereka dari bekas-bekas sujudnya. Dan Allah mengharamkan neraka memakan bekas sujud. Mereka keluar dari neraka. Setiap manusia penghuni neraka dimakan oleh api neraka kecuali bekas sujudnya. Mereka keluar dari neraka sedangkan mereka telah terbakar. Maka disiramkan kepada mereka air kehidupan. Karena itu mereka kembali tumbuh sebagaimana tumbuhnya biji di tanah bekas aliran banjir. Kemudian Allah selesai menunuikan balasan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, dan hanya tinggal seorang lelaki yang sedang berada di antara surga dan neraka, - dan dia penghuni neraka yang terakhir dimasukkan ke dalam surga-. Dalam posisi wajahnya menghadap ke arah neraka, lelaki tersebut berkata: “,Wahai Tuhan-ku, palingkanlah wajahku dari arah neraka, sesungguhnya bau busuknya telah membuatku mual dan sesak bernafas, dan nyala apinya telah membakarku”. Allah berfirman kepadanya: “Nanti kalau sudah dipenuhi permintaanmu, engkau akan meminta hal yang lain”. Jawabnya: “,Tidak, demi Kemuliaan-Mu”. Maka Allah memberi sesuai dengan janjinya. Allah palingkan wajah lelaki tersebut dari arah neraka. Setelah menghadap surga tampaklah bagi lelaki tersebut keindahan surga, maka ia pun terdiam, maa syaa’a Allah, ia terdiam dan ternganga”. Kemudian ia berkata: “,Wahai Tuhan-ku, bawalah aku ke dekat pintu surga”. Allah SWT berfirman kepadanya: “,Bukankah telah diberi apa yang engkau minta tadi, dan engkau berjanji tidak akan meminta hal yang lain? Jawab lelaki: “,Wahai Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku menjadi makhluk-Mu yang paling celaka”. Allah SWT berfirman: “,Nanti, kalau sudah diberi yang engkau minta ini, engkau akan minta pula hal yang lain”. Jawab lelaki: “,Tidak, demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan meminta selain itu”. Maka Allah memberi permintaannya sesuai dengan janjinya. Allah mendekatkannya ke pintu surga. Sesudah berada di dekat pintu surga, ia pun melihat taman-taman surga dan juga tampak baginya kecantikan surga dan berbagai kesenangan di dalamnya, maa syaa’a Allah, dia pun terdiam dan ternganga, maka dia berkata: “,Wahai Tuhan-ku, masukkanlah aku ke dalam surga! Allah SWT berfirman kepadanya: “,Apa-apaan engkau ini wahai anak Adam, sungguh engkau ini lain dari yang lain! Bukankah engkau sudah diberi sesuai dengan janjimu, tidak akan meminta hal yang lain? Jawab lelaki: “,Tuhan-ku, janganlah Engkau jadikan aku makhluk-Mu yang paling celaka”. Maka Allah SWT tertawa karena melihat sikap lelaki tersebut. Kemudian Allah SWT  mengizinkannya masuk surga, dan Allah berfirman kepadanya: “,Nikmatilah surga”. Maka ia pun menikmati surga…”.[77]
Hadis ini memberitahu kita bahwa neraka tidak akan membakar bekas sujud pada jasad orang yang beriman. Menurut para ulama, bekas sujud yang tidak dimakan api neraka ialah kening, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Imam Muslim.
Walaupun yang bersujud dalam shalat terdiri dari tujuh anggota badan (dua lutut, dua tangan, dua tumit, dan kening), namun hadis riwayat Muslim mentakhsis (mengkhususkan) dengan kalimat: “,Sesungguhnya kaum keluar dari neraka dimana mereka telah dibakar di dalamnya kecuali bagian wajah (muka)-nya”.[78]
`Atha’ bin Yazid berkata: “,Aku duduk di dekat Abu Hurairah dan Abu Sa`id r.a., maka salah seorang dari mereka menyampaikan hadis syafa`at sedangkan yang lain diam. Dia berkata: Maka malaikat datang, dan ia memberi syafa`at, dan para rasul memberi syafa`at – dan ia menyebutkan tentang shiraat (titian) -, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “,Maka aku adalah orang yang pertama melewati titian. Apabila Allah SWT sudah selesai menunaikan di antara makhluk-Nya, dan Dia telah mengeluarkan dari neraka orang yang ingin Dia keluarkan; maka Allah menyuruh para malaikat dan para rasul untuk memberi syafa`at, maka mereka umat dikenali dengan tanda-tandanya. Sesungguhnya neraka telah memakan segala sesuatu dari diri anak Adam kecuali tempat sujud. Disiramkan kepada mereka air dari surga, maka mereka tumbuh sebagaimana tumbuhnya biji di tanah bekas aliran banjir”.[79]

1 comment:

  1. Assalamualaikum pak Ustaz, mohon dapat dituliskan artikel bab tentang Masbuq.

    Terima kasih, Wassalam

    ReplyDelete