menyingkap tabir rahasia Ilahi
Berdasarkan al-Quran dan Sunnah
Sesuai Faham Imam Mujtahid Sunni
(ISBN: 979-25-0701-9)
(ISBN: 979-25-0701-9)
BAB I
TAHARAH
- Hikmah dan Keutamaan Bersuci
Setiap orang dianjurkan menjaga kesucian dirinya. Bersuci ialah membersihkan badan atau jasad dari kotoran dan najis serta menyucikan hati dari sifat-sifat tercela. Membersihkan badan semata tanpa disertai penyucian hati dan rahasia hati merupakan “kemunafikan”. Di luar tampak keimanan tetapi dalam hatinya penuh dengan kekufuran. Pada waktunya sifat “nifaq” akan muncul ke permukaan dan mengubah imej jasad dari bersih dan menarik menjadi tercela. Sebab, lidah mengucapkan kata-kata kotor dan anggota badan melakukan perbuatan tercela.
Setiap orang akan berpenampilan bersih dan menarik ketika berinteraksi dengan orang yang dianggapnya terhormat dan penting. Saya dan juga Anda tentu tidak terkecuali. Tapi semuanya harus dilakukan dengan ikhlas semata-mata untuk mencapai ridha Allah. Tanpa niat yang ikhlas aktifitas tidak akan dinilai sebagai ibadah.
Orang yang hanya membersihkan diri, pakaian dan tempat shalatnya dari najis dan kotoran semata, tidak membersihkan hati dari syirik, riya dan sifat tercela lainnya, berarti ia tidak menyadari kehadiran Allah dalam shalatnya. Jika hal ini Anda lakukan berarti Anda mencoba menipu Allah.
Di depan manusia Anda boleh berlagak baik dan mengelabui mereka dengan penampilanmu. Mereka memujimu meskipun Anda simpan dendam kesumat dalam hatimu.
Allah mengetahui sifat tercela yang tersimpan dalam rahasia hati (sirr qalbu) manusia. Allah tahu dosa-dosamu yang Anda rahasiakan bahkan yang sudah berada di bawah alam sadarmu. Semuanya tersimpan dalam disket-disket malaikat yang bertugas mengawasimu setiap hari. Oleh sebab itu, sucikan dirimu dari dosa dan sifat-sifat tercela.
Beristighfarlah dan berazam tidak akan melakukan lagi dosa yang pernah Anda lakukan. Bukankah Anda hendak memenuhi panggilan Allah? Bukankah Anda hendak bertemu Tuhan Yang Mahasuci? Bagaimana mungkin kehadiranmu diterima kalau Anda berlumuran najis, kotoran, dan dosa-dosa?
Berwudu, mandi dan tayamum merupakan aktifitas membersihkan diri daripada najis, kotoran, bau busuk badan dan dosa. Dari tiga ibadah ini berwudu merupakan yang paling sering dilakukan. Karena setiap mukmin yang hendak shalat harus yakin bahwa dirinya suci daripada najis dan hadas, baik hadas kecil maupun hadas besar. Dan fungsi wudu untuk menghilangkan hadas kecil.
Orang yang faham hikmah wudu akan berupaya memelihara wudunya. Bilal bin Rabah r.a. salah satu di antaranya. Setiap batal wudunya, sahabat utama ini segera berwudu secara sempurna.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi SAW ketika shalat subuh bersabda kepada Bilal ibn Rabah, “Wahai Bilal, beritahu kepada saya amal apa yang telah engkau lakukan dalam Islam yang paling engkau harapkan (diterima oleh Allah), karena saya mendengar bunyi kletek (sandal)-mu di depanku di surga. Jawab Bilal r.a., “Tidak ada amal yang aku lakukan yang lebih aku harapkan manfaatnya bagiku (selain dari amalan berwudu). Setiap waktu siang dan malam, apabila selesai berwudu dengan sempurna aku selalu mendirikan shalat wajib (dan atau shalat sunat) dengan wudu itu.”[1] Dan Buraidah r.a. meriwayatkan bahwa Bilal r.a. berkata, “Setiap aku berhadats (batal wudu) aku segera berwudu dan shalat (sunat wudu) dua rakaat.”[2]
Amalan ini menjadikan Bilal termasuk dalam golongan orang-orang yang awal-awal masuk surga sebagaimana tampak bagi Rasulullah SAW dalam mimpinya. Karena itu Rasulullah SAW bertanya: “,Wahai Bilal, amal apakah yang membuatmu mendahuluiku ke surga?[3]
Tentu banyak hikmah lain yang didapat orang yang senantiasa menjaga wudu. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- Kunci shalat
Imam Ali r.a. meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Kunci shalat bersuci, tahrimnya takbir, dan tahlilnya mengucapkan salam.”[4]
Jabir bin Abdullah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kunci surga shalat, dan kunci shalat adalah wudu.”[5] Dan Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak diterima shalat orang yang bersahadats hingga ia berwudu.”
- Menggugurkan dosa-dosa
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila berwudu seorang hamba yang muslim atau mukmin, lalu ia membasuh mukanya maka keluar dari mukanya setiap dosa yang dipandangnya dengan kedua matanya bersama air atau bersama tetesan air yang terakhir; apabila ia membasuh kedua tangannya, maka keluar dari kedua tangannya setiap dosa yang dilakukan oleh kedua tangannya bersama air atau bersama tetesan air yang terakhir; apabila ia membasuh kedua kakinya, maka keluar setiap dosa yang berjalan kepadanya kedua kakinya bersama air atau bersama tetesan air yang terakhir sehingga ia keluar suci daripada dosa-dosa.”[6]
Dalam hadis disebutkan bahwa “,Seorang muslim yang berwudu, apabila ia berkumur-kumur maka keluar dosa-dosa dari mulutnya; apabila istintsar (memasukkan air kehidung dan mengeluarkannya) maka keluar dosa-dosa dari hidungnya; apabila membasuh mukanya maka keluarlah dosa-dosa dari mukanya sehingga dari kelopak matanya; apabila membasuh tangannya maka keluar dosa-dosa dari kedua tangannya sehingga dari kukunya; apabila menyapu kepalanya maka keluar dosa-dosa dari kepalanya sehingga keluar dari bawah kedua telinganya; apabila membasuh kakinya maka keluar dosa-dosa dari kedua kakinya sehingga dari kuku kakinya; kemudian langkahnya ke masjid untuk shalat menjadi ibadah sunat baginya.”[7]
Abu Umamah r.a. meriwayatkan bahwa `Amru bin `Abasah as-Sulamiy r.a. berkata, “Saya hidup pada zaman jahiliah dan aku yakin manusia dalam kesesatan, tidak hidup atas suatu (kebenaran), mereka menyembah berhala. Aku mendengar informasi tentang seorang lelaki di Mekkah yang menyampaikan berbagai macam khabar. Maka aku duduk di atas hewan tungganganku, aku mendatangi beliau. Ketika itu Rasulullah SAW menyuruh (pengikutnya) melakukan penyamaran, sebab kaumnya berbuat lancang terhadapnya. Aku bergerak secara rahasia sehingga aku masuk ke tempatnya di Mekkah. Aku katakan kepada beliau, “Apa yang terjadi denganmu? Jawab beliau, “Saya seorang Nabi.” Aku tanyakan, “Apa itu Nabi? Jawab beliau, “Allah mengutus saya menjadi Rasul.” Aku tanyakan beliau, “Dengan apa Allah mengutusmu? Jawab beliau, “Beliau mengutusku dengan ajaran menyambung silaturrahim, menghancurkan berhala, mengesakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.” Aku tanyakan beliau, “Siapa yang menyertaimu (dalam ajaran) ini? Jawab beliau, “Orang merdeka dan hamba.” Nabi SAW memberitahu, “Bahwa ketika itu bersama beliau Abu Bakar dan Bilal diantara orang-orang yang telah beriman.” Maka aku katakan, “Sesungguhnya aku menjadi pengikutmu.” Jawab Nabi SAW, “Sesungguhnya engkau tidak mampu untuk itu pada masa ini. Tidakkah engkau lihat bagaimana keadaanku dan keadaan manusia? Akan tetapi kembalilah kepada keluargamu! Apabila engkau dengar tentang aku bahwa aku telah muncul secara terbuka, datanglah kepadaku! Kata `Amru bin `Abasah, “Maka aku kembali kepada keluargaku, dan Rasulullah SAW telah datang ke Madinah sedangkan aku masih di keluargaku. Aku mencari tahu berita tentang Rasulullah, dan aku tanyakan orang-orang yang telah datang ke Madinah hingga datang kepadaku satu kelompok kecil penduduk Yatsrib, penduduk Madinah. Maka aku tanyakan kepada mereka, “Apa yang dilakukan oleh lelaki yang telah datang di Madinah? Mereka menjawab, “Manusia datang bergegas-gegas kepadanya. Dan kaumnya sendiri (di Mekkah) telah berupaya membunuhnya tetapi mereka tak dapat melakukannya.” (Kata `Amru bin `Abasah), “Maka aku pun datang ke Madinah. Aku masuk ke tempat Rasulullah. Aku kataka, “Wahai Rasulullah, apakah engkau masih mengenalku? Jawab beliau, “Ya, engkau yang menemuiku di Mekkah? Jawab `Amru, “Maka aku katakan, bahkan saya itu.” Saya katakan, “Wahai Nabi Allah, beritahulah aku apa-apa yang diajarkan oleh Allah kepadamu dan saya tidak mengetahuinya! Beritahulah aku tentang shalat! Jawab Nabi SAW, “Dirikanlah shalat subuh. Kemudian jangan lakukan shalat hingga terbit matahari, hingga matahari terangkat. Sesungguhnya matahari terbit, ketika terbit di antara dua tanduk setan, ketika itu orang-orang kafir menyembah matahari. Kemudian shalatlah, sesungguhnya shalat disaksikan dan dihadiri hingga tombak tidak mempunyai bayangan. Kemudian janganlah lakukan shalat karena sesungguhnya ketika itu neraka jahannah dinyalakan. Apabila matahari condong, dirikanlah shalat, karena sesungguhnya shalat disaksikan dan dihadiri hingga engkau shalat ashar. Kemudian jangan lakukan shalat hingga terbenam matahari, sesungguhnya matahari terbenam di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir menyembah matahari.” Kata `Amru bin `Abasah, “Maka aku katakan, “Wahai Nabi Allah, beritahulah aku tentang wudu! Nabi SAW membicarakan wudu kepadaku, beliau bersabda, “Tidak ada seseorang daripada kamu yang hendak berwudu, maka ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya, kecuali berguguran kesalahan-kesalahan dari muka, mulut, dan batang hidungnya. Kemudian apabila ia telah membasuh mukanya sebagaimana diperintahkan oleh Allah, (tak ada siapa pun) kecuali berguguran kesalahan-kesalahan mukanya dari celah-celah jenggotnya bersama air. Kemudian ia basuh kedua tangannya sampai kedua siku, (tak ada siapa pun) kecuali berguguran kesalahan-kesalahan kedua tangannya dari ujung jari-jarinya bersama air. Kemudian (apabila) ia menyapu kepalanya, (tak ada siapa pun) kecuali berguguran kesalahan-kesalahan kepalanya dari ujung-ujung rambutnya bersama air. Kemudian (apabila) ia membasuh kedua tumitnya sampai ke mata kaki, (tak ada siapa pun) kecuali berguguran kesalahan-kesalahan kedua kakinya, dari jari-jarinya bersama air. Jika ia berdiri, maka ia shalat, ia puji Allah dan ia sanjung dan memang hanya Dia yang berhak menerima pujian dan sanjungan, dan ia murnikan hatinya untuk mengingat Allah dan dikosongkannya dari segala selain-Nya, (maka tak ada siapa pun) kecuali ia dijauhkan dari kesalahan-kesalahannya seperti keadaannya pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.” `Amru bin `Abasah menyampaikan hadis ini kepada Abu Umamah, sahabat Rasulullah SAW. Maka Abu Umamah r.a. berkata, “Wahai `Amru bin `Abasah, tilik dan perhatikan lagi apa yang engkau katakan. Ini diberikan hanya pada satu tempat? Jawab `Amru, “Wahai Abu Umamah, sudah tua umurku, telah lemah tulang-tulangku, telah dekat ajalku, dan tak ada perlunya bagiku berbohong atas nama Allah dan tidak atas nama Rasulullah. Kalau aku mendengarnya dari Rasulullah SAW satu kali, atau dua kali, atau tiga kali hingga ia katakan tujuh kali, aku tidak akan menyampaikannya selama-lamanya. Akan tetapi aku telah mendengarnya (dari Rasulullah SAW) lebih sering daripada itu.”[8]
Humran bin Abban, maula Utsman bin Affan berkata, saya mendengar Utsman bin Affan r.a. berkata ketika ia berada di halaman masjid, maka datang muadzdzin ketika waktu ashar, maka Utsman berdoa pada air wudu, maka ia pun berwudu, kemudian ia berkata, “Demi Allah, akan aku sampaikan kepada kamu satu hadis, kalau bukan karena ayat dalam al-Quran tentu aku tidak akan sampaikan kepada kamu. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “
Dengan demikian berwudu dalam perspektif pembersihan diri adalah membersihkan diri daripada dosa-dosa yang diperbuat oleh mulut, hidung, mata, tangan, muka, telinga, kepala dan kaki. Membersihkan diri dari dosa-dosa lahir seperti tersebut sangat penting karena anggota tubuh akan menghadap Allah Yang Mahasuci.
Tidak cukup sekedar membersihkan dosa lahir. Yang lebih penting lagi membersihkan hati dari dosa-dosa batin seperti takbur, riya, syirik, hasad, dan `ujub. Sebab yang menghadap Allah dalam shalat adalah anggota tubuh dan ruhmu. Bahkan ruh dan sirr qalbu Anda merupakan bagian dirimu yang dapat bermunajat dengan Allah dalam shalat.
Oleh sebab itu tidak cukup hanya membersihkan anggota badan lahir. Harus Anda bersihkan hatimu dengan cara bertaubat, beristighfar dan menyesali segala dosa serta berazam tidak akan mengulanginya.
Dalam hadis disebutkan: “,Siapa yang berwudu dan melakukannya menurut kaifiat yang benar, kemudian ia shalat dua rakaat dan tidak mengotori jiwanya dalam shalatnya dengan sesuatu daripada dunia, maka ia keluar daripada dosa-dosanya sebagaimana ketika ia dilahirkan ibunya.”[9]
- Mudah dikenal oleh Rasulullah SAW pada hari kiamat
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya telagaku lebih tinggi dan jauh dari bukit Ailah ke pelabuhan `Adan, lebih kuat putih jernihnya dari salju, dan lebih manis dari madu yang dicampur susu, dan bejana-bejananya lebih banyak dari bintang-bintang. Dan aku halangi manusia (selain umatku) mendekat kepadanya sebagaimana seseorang mengahalangi unta orang lain mendekat ke kolamnya.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau dapat mengenal kami pada hari itu? Rasulullah SAW menjawab, “Ya, pada kamu ada tanda yang tidak dimiliki oleh umat-umat lain. Kamu jelas bagi saya karena cahaya yang bersinar dari bekas wudu.”[10]
Abu Hurairah r.a. berkata, saya mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat karena dikenal dari cahaya yang bersinar di mukanya dari bekas-bekas wudu. Maka barangsiapa dari kamu yang dapat memperpanjang (basuhan) mukanya hendaklah ia lakukan.”[11]
- Mengusir setan dan menghilangkan amarah
Rasulullah SAW menerangkan bahwa amarah berasal daripada setan dan setan diciptakan dari api, dan api dapat dipadamkan dengan air. Karena itu apabila seseorang marah maka hendaklah ia segera berwudu. Dengan demikian amarahnya akan reda dan hilang sama sekali.
Setan adalah zuriat Iblis yang kerjanya setiap saat hanya menggoda manusia agar terjemurus kepada perbuata-perbuatan maksiat dan dosa. Dalam upayanya menggoda manusia setan akan melakukan 1001 cara.
Atas permintaan Iblis kepada Allah SWT, maka makhluk terkutuk ini serta seluruh zuriatnya dibolehkan menggoda dan menyesatkan Adam dan anak cucunya. Namun orang-rang yang ikhlas dalam segala aktifitasnya, mulai dari kegiatan paling kecil dan ringan seperti bernafas sampai yang paling berat dan beresiko besar seperti jihad berperang fi sabilillah, maka orang-orang ini akan dilindungi dari pengaruh setan. Tidak ada jalan dan ruang bagi setan untuk mendekatinya.
Kalau Anda selalu dalam keadaan berwudu, dan setiap berwudu Anda lakukan dengan sempurna, maka setan tidak akan kuat mendekat kepadamu. Dan Rasulullah SAW menjelaskan bahwa wudu adalah senjata bagi orang Mukmin.
Para sahabat utama senantiasa menjaga dirinya agar tetap dalam keadaan suci daripada hadats. Karena itu mereka terhindar dari gangguan setan. Perhatikanlah ungkapan Rasulullah SAW tentang keutamaan Umar bin al-Khattab r.a.. “,Setiap setan hendak berpapasan dengan engkau wahai Umar di satu jalan, setan pasti akan melalui jalan yang lain.”
Setan tidak akan kuat berdekatan dengan manusia-manusia suci, ikhlas dan tetap berzikir kepada Allah swt. Getaran-getaran zikrullah (mengingat Allah) yang bersumber dari hati seorang Mukmin dan beredar serta menyebar ke sekujur tubuhnya menutup jalan masuk setan.
Memang Rasulullah SAW menjelaskan bahwa setan dapat menyusup ke dalam jiwa manusia melalui peredaran darahnya. Ini terhadap tubuh orang yang riya dalam beramal dan hatinya lalai dari zikrullah.
Adapun tubuh yang selalu dipenuhi dengan zikir “Ismu Dzaat”, yaitu lafaz ALLAH, dan senantiasa dalam keadaan suci dari najis dan hadats, maka tidak ada jalan bagi setan untuk mendekatinya apalagi menyesatkannya.
Sebelum mendekat, masih pada jarak dan radiasi tertentu setan akan terpelanting. Sebab, getaran air wudu dan zikir sebenarnya amat dahsat. Setiap mendekat setan akan menjerit kepanasan dan merasakan dirinya terbakar.
Hal itu dapat dipahami dari al-Quran dan Sunnah. Perhatikanlah ucapan Iblis di hadapan Allah SWT sebagaimana terekam dalam al-Quran. Kata Iblis: “… Dan pasti aku akan menyesatkan manusia semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis (beramal dengan ikhlas semata-mata untuk mencari ridho Allah) di antara mereka.” Allah berfirman: “Ini adalah jalan yang lurus. Kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.”[12] Dan Sunnah menjelaskan bahwa dengan berwudu, maka amarah seseorang akan reda dan hilang sama sekali. Bahkan setan yang merupakan biang keladi penyebab munculnya amarah, yang asal usulnya diciptakan dari api juga akan terbunuh atau minimal lari menjauh, sebagaimana api dapat dipadamkan dengan air.
- Wajib masuk surga dan dipersilakan masuk dari pintu mana saja.
`Uqbah bin `Amir r.a. berkata, “Kami memiliki banyak unta gembalaan, maka datang giliranku menggembala. Aku mengembalikannya (ke kandangnya) pada petang hari, maka aku dapati Rasulullah SAW sedang berdiri berbicara kepada manusia. Aku dapati antara lain dari sabdanya, “Tidak ada dari seorang Muslim yang berwudu, lalu ia baguskan wudunya, kemudian ia shalat dua rakaat, dalam dua rakaat itu ia hadapkan hatinya dan wajahnya (kepada Allah), kecuali wajib baginya surga.” Kata `Uqbah, “Alangkah bagusnya ini.” Maka orang yang di depanku berkata, “Yang sebelum ini lagi yang lebih bagus.” Aku pandang orang yang berkata itu, rupanya Umar.” Kata Umar r.a., “Sesungguhnya aku melihatmu baru saja datang. Maka ia membacakan hadis, “Tidaklah salah seorang dari kamu berwudu, maka ia memanjangkan dan meluaskan wudu, kemudian ia membaca:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.
kecuali dibukakan untuknya pintu-pintu surga yang delapan, ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia kehendaki.”[13]
- Definisi, Hukum dan Pembagian Bersuci
1. Definisi bersuci
Taharah menurut bahasa ialah suci. Dan taharah menurut istilah syara` ialah “mengangkat hadas atau menghilangkan najis atau melakukan perbuatan yang sama makna dan bentuknya dengan taharah.”[14]
Mengangkat hadas kecil dengan cara berwudu, dan mengangkat hadas besar dengan cara mandi. Menghilangkan najis dengan cara menyucikan badan atau benda yang kena najis. Dan melakukan perbuatan yang sama makna dan bentuknya dengan taharah, seperti memperbaharui wudu bagi orang yang belum batal wudunya.
2. Hukum bersuci
Diwajibkan bagi setiap mukmin menyucikan badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Firman Allah s.w.t. dalam surat al-Muddatsir (74) ayat 4:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya:
Dan bersihkanlah pakaianmu.
Dan firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 125 yang artinya: “,Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud.”
Kalau diwajibkan menyucikan pakaian dan tempat dari najis, maka menyucikan badan dari najis lebih utama. Diwajibkan bersuci bagi orang yang hendak mendirikan shalat, karena suci dari najis dan hadas salah satu syarat sah shalat.
3. Pembagian taharah
Taharah atau bersuci terbagi empat, yaitu:
a. Wudu.
b. Mandi.
c. Tayamum.
d. Menghilangkan najis.
4. Macam-macam alat bersuci
Alat bersuci atau menyucikan ada empat macam, yaitu:
a. Air Mutlak.
b. Debu tanah yang suci.
c. Alat penyamak.
d. Peroses perubahan.[15]
5. Pembagian air
Dilihat dari fungsi dan hukum menggunanya, air ada empat macam:
1. Air yang suci lagi menyucikan atau air mutlak. Air mutlak ialah air yang turun dari langit atau terbit dari bumi selama masih tetap dalam bentuknya yang asal. Misalnya air hujan, air embun, air salju, air mata air, air sungai, air laut, dan air perigi. Para ulama ijmak tentang bolehnya mengguna air mutlak untuk menghilangkan najis, berwudu, mandi dan minum. Dasar hukumnya al-Quran dan Sunnah. Firman Allah s.w.t. dalam surat al-Anfaal (8) ayat 11 yang artinya: “,Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit supaya Dia menyucikan kamu dengan air hujan itu.” Sabda Nabi Muhammad s.a.w. mengenai air laut: “,Airnya suci lagi menyucikan dan bangkainya halal.”[16]
2. Air yang suci lagi menyucikan tetapi makruh menggunanya, yaitu air musyammas. Air musyammas ialah air yang dipanaskan dengan matahari di tempat logam yang bukan emas.
3. Air yang suci tetapi tidak menyucikan, yaitu:
- Air yang bercampur dengan benda suci dan mengubah salah satu sifatnya (rasa, warna atau baunya) sedangkan air itu bukan tempat bagi benda bersangkutan. Misalnya, air yang bercampur dengan kunyit, teh atau dengan tepung.
- Air musta`mal, yaitu air sedikit yang telah diguna pada fardu bersuci dari hadas. Misalnya, air yang telah diguna membasuh tangan pada basuhan pertama dalam berwudu.
- Air tumbuh-tumbuhan, seperti air bunga, air buah-buahan dan air akar.
4. Air yang bernajis, yaitu air yang jatuh padanya najis. Dan ini ada dua macam:
- Air sedikit atau kurang dari dua kullah yang jatuh padanya najis, baik berubah sifatnya maupun tidak.[17]
- Air banyak atau cukup dua kullah yang jatuh najis padanya sehingga berubah salah satu sifatnya.
Ulama sepakat bahwa dua macam air ini bernajis. Namun menurut fuqaha mazhab Syafi`i, kalau yang jatuh merupakan najis yang dimaafkan, seperti bangkai lalat dan bangkai lebah, maka air itu tetap suci lagi menyucikan.[18]
Air sedikit yang bernajis karena jatuh najis padanya menjadi suci apabila dimasukkan air padanya sehingga cukup dua kullah.
Air dua kullah yang bernajis menjadi suci apabila sifatnya kembali seperti biasa dengan sendirinya (secara alami); atau menjadi suci apabila ditambahkan dengan air lain sehingga sifatnya kembali seperti semula.
6. Air yang bercampur dengan benda suci
Di antara benda suci yang bercampur dengan air mutlak ada yang tidak dapat mempengaruhi sifat air tetapi ada pula yang bisa mengubah sifatnya.
Benda suci yang tidak dapat mengubah sifat air mutlak ialah sebagai berikut:
1. Sedikit benda suci, seperti sedikit teh. Air mutlak yang bercampur dengan sedikit benda suci, seperti dicampur dengan sedikit teh, adalah tetap suci lagi menyucikan.
2. Tanah yang suci. Air mutlak yang berubah sifatnya karena bercampur dengan tanah yang suci fungsinya tetap suci lagi menyucikan.
3. Air mutlak yang berubah sifatnya karena pengaruh benda suci yang hidup atau bertempat dalam air fungsinya tetap suci lagi menyucikan. Misalnya, air yang berubah warnanya karena pengaruh lumut yang hidup di dalamnya atau berubah baunya karena belerang.
4. Air yang berubah sifatnya karena lama diam di tempat yang tidak mengalir adalah tetap suci lagi menyucikan.
5. Air mutlak yang berubah sifatnya karena bercampur dengan daun-daun kayu yang berguguran adalah tetap suci lagi menyucikan.
Benda suci yang dapat mengubah sifat air mutlak ialah:
1. Air tidak dapat lagi menyucikan apabila telah berubah sifatnya karena bercampur dengan benda suci yang tidak hidup dan bertempat di dalam air. Misalnya, air yang bercampur dengan kunyit, korma, tepung, teh, dan lumut yang ditumbuk halus serta dibuang ke air. Sebab telah berubah namanya menjadi air kunyit, air korma, air tepung, air teh, dan air lumut.
2. Air tidak dapat lagi menyucikan apabila berubah sifatnya karena bercampur dengan garam kasar. Misalnya, air mutlak dalam ember besar yang dicampur dengan garam tidak dapat diguna lagi untuk bersuci dan menghilangkan najis.[19]
7. Air Musta`mal
Air musta`mal ialah air sedikit yang telah diguna pada fardu bersuci. Misalnya, air yang diguna membasuh tangan pada basuhan yang pertama dalam berwudu.
Air yang diguna pada sunat bersuci, seperti diguna pada basuhan yang kedua dan basuhan yang ketiga dalam berwudu, tidak dinamakan air musta`mal dan air itu tetap suci lagi menyucikan.
Air musta`mal tergolong air yang suci tetapi tidak dapat menyucikan. Dasar hukumnya adalah hadis sahih berikut ini: “,Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. mengunjungi Jabir yang sedang sakit. Nabi ketika itu berwudu dan air wudunya dituangkan keatas anggota wudunya. Para sahabat tidak mengumpulkan air musta`mal (Nabi) untuk diguna kedua kalinya, padahal mereka ketika itu hanya memiliki sedikit air. Mereka bersuci dengan bertayamum. Juga tidak mengumpulkannya untuk minuman, karena air musta`mal dianggap kotor.”[20]
Dimaafkan sedikit air musta`mal yang jatuh kedalam air mutlak. Dan air musta`mal menjadi suci lagi menyucikan apabila dikumpulkan sehingga cukup dua kullah.[21]
8. Sisa Minuman
Sisa minuman ialah air dalam bejana atau kolam sesudah ada yang minum darinya. Fuqaha mazhab Syafi`i dan mazhab Hanbali menjelaskan air sisa minuman sebagai berikut:
Sisa manusia adalah suci, baik muslim maupun kafir.
- Sisa hewan yang halal dagingnya dimakan boleh diminum dan boleh diguna berwudu.
- Sisa kucing, tikus, musang dan seumpamanya dari serangga seperti ular dan cecak adalah suci, boleh diminum dan diguna untuk berwudu, dan tidak makruh menurut sahabat dan tabi`in kecuali menurut Imam Abu Hanifah.
- Sisa hewan jenis kuda, bighal, keledai dan binatang buas, baik hewan yang dimakan dagingnya maupun yang tidak dimakan, adalah suci. Diriwayatkan dari Jabir r.a.: “,Bahwa Nabi s.a.w. ditanya apakah boleh berwudu dengan sisa keledai? Jawab beliau: ‘Ya, dan juga boleh dengan sisa segala binatang buas.”
- Apabila binatang buas memakan benda najis, seperti kucing memakan tikus, kemudian binatang itu minum dari bejana atau perigi yang airnya kurang dua kullah, maka perlu diperhatikan apakah kucing itu setelah makan langsung minum dari bejana/perigi atau terlebih dahulu pergi ketempat lain. Jika langsung minum, maka sisa air menjadi bernajis. Tetapi kalau terlebih dahulu pergi ketempat lain, sebelum minum, maka air sisa yang dalam bejana/perigi tetap suci lagi menyucikan. Sebab mungkin kucing tersebut telah minum di tempat lain sebelum minum dari bejana atau perigi.
- Sisa anjing dan babi dan sisa segala yang lahir dari keduanya tergolong najis.[22]
- Najis
1. Definisi najis
Najis ialah suatu benda kotor menurut pandangan syara`. Misalnya, kencing, berak, madzi, wadi, mani selain mani manusia, darah, nanah, air bisul kalau ada baunya, gumpalan darah, bangkai (kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang), khamar, anjing dan babi dan segala yang dilahirkan keduanya, susu binatang yang tidak halal dagingnya selain susu manusia.[23]
2. Pembagian najis
Najis terbagi tiga:
- Najis ringan (mukhaffafah), yaitu air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu ibunya.
- Najis berat (mughallazah), yaitu anjing dan babi dan segala yang lahir dari keduanya.
- Najis sedang (mutawassithah), yaitu selain dari dua macam najis tersebut di atas.
3. Najis `ainiyah dan hukmiyah
Dilihat dari wujudnya, maka najis sedang (mutawassithah) terbagi dua: najis `ainiyah dan najis hukmiyah.
Najis `ainiyah ialah najis yang berwujud dan dapat dilihat dengan mata tanpa alat pembesar.
Najis hukmiyah ialah najis yang tidak dapat dilihat wujud bendanya dengan mata telanjang. Misalnya, bekas kencing, arak yang sudah kering dan lain-lain.
Menurut fuqaha mazhab Syafii, seluruh hewan adalah suci kecuali anjing dan babi dan yang lahir dari keduanya. Dan segala benda padat adalah suci kecuali yang memabukkan.
Rambut dan bulu hewan yang halal dagingnya tergolong suci, baik diambil sesudah hewannya disembelih maupun ketika hewannya masih hidup. Tergolong najis kalau diambil sesudah hewannya mati tanpa disembelih.
Bulu yang digunting atau diiris dari hewan yang tidak halal dagingnya tergolong najis.[24]
4. Hukum najis dan cara menghilangkannya
Diwajibkan mensucikan badan, pakaian dan tempat daripada najis, baik najis berat maupun najis ringan dan sedang (pertengahan). Cara mensucikannya ialah sebagai berikut:
- Najis berat. Cara mensucikan dengan membasuh benda yang kena najis 7 kali, salah satu diantaranya dengan air yang bercampur tanah. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “,Sucinya bejana salah seorang kamu apabila anjing menjilat di dalamnya ialah dengan membasuhnya tujuh kali, pada basuhan yang pertama dibasuh dengan air bercampur tanah.”[25] Dan al-`Asqallani dalam Fath al-Baariy menyebutkan bahwa menurut Imam Syafii, penggalan kalimat matan hadis ialah“Basuhan yang pertama kali atau salah satu dari tujuh basuhan dengan air bercampur tanah”, dan nash inilah yang dipedomani oleh as-Syafii dalam kitab al-Umm dan al-Buwaithi. Karena itu menurut as-Syafii, satu kali membasuh dengan air bercampur tanah tidak mesti pada basuhan yang pertama.”[26]
- Najis ringan. Cara mensucikan dengan memercikkan air pada tempat yang kena najis. “,Ummu Qais binti Mihshan r.a. meriwayatkan bahwa ia membawa kepada Rasulullah SAW seorang anaknya yang masih kecil, yang belum memakan makanan (selain dari air susu ibu). Rasulullah SAW mendudukkan anak di kamarnya, maka ia kencing pada pakaian Rasulullah. Rasulullah SAW meminta air, beliau memercikinya dengan air dan tidak membasuhnya.”[27]
- Najis sedang. Cara mensucikan dengan membasuh benda yang kena najis satu kali dengan syarat hilang sifat najisnya (rasa, warna, dan baunya). Namun disunatkan membasuhnya sampai tiga kali. Jika najisnya tergolong najis hukmiyah, maka cara menghilangkannya cukup dengan mengalirkan air diatas benda yang terkena najis.
5. Najis yang dimaafkan
Najis yang dimaafkan ialah najis yang tidak harus dicuci. Contoh najis yang dimaafkan ialah:
- Najis yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, seperti darah yang sedikit dan sedikit air kencing yang memercik.
- Darah jerawat, darah mulut, darah dan nanah bisul, darah dan nanah luka apabila darah atau nanah tersebut masih pada badan sendiri dan belum terpisah dari badan.
- Sedikit darah selain darah anjing, babi dan anak keduanya.
- Darah binatang yang tidak mengalir darahnya, seperti kutu kepala dan nyamuk.
- Bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya, seperti bangkai lalat, nyamuk, semut, lebah, dan kutu kecuali bangkai belalang. Bangkai belalang adalah suci.
- Darah pada tempat berbekam dan operasi, kencing sulsul baul (orang yang sakit selalu kencing), darah istihadhah (darah yang masih keluar setelah habis masa haid dan masa nifas).
- Sedikit debu kotor dan sedikit air lorong-lorong yang memercik ke kain dan sukar dihindari.
- Bangkai ulat buah-buahan.
- Alkohol yang diguna untuk obat-obatan dan sedikit alkohol yang dicampur dengan wangi-wangian.[28]
- Kotoran burung di jalan jika sukar menghindarinya dengan syarat kotoran dan kaki yang menginjaknya sama-sama kering.
- Sedikit rambut atau bulu najis. Misalnya sehelai atau dua helai bulu binatang yang tidak halal dagingnya selain bulu anjing, babi dan segala yang dilahirkan keduanya.
- Banyak bulu binatang tunggangan, seperti bulu gajah yang melekat pada pakaian penunggangnya.
- Bekas tato. Diharamkan membuat tato, dan bagi yang mempunyai tato wajib membuangnya. Bekas tato yang tidak dapat dihilangkan dimaafkan apabila orang berkenaan bertaubat.
- Kotoran ikan dalam air apabila tidak mengubah air.
- Darah yang masih dalam daging dan tulang hewan yang sudah disembelih.[29]
Apabila cecak jatuh kedalam minyak atau makanan yang membeku, kemudian mati, maka makanan atau minyak yang disekitar binatang harus dibuang, sedangkan sisanya halal dimakan. Tetapi jika makanan atau minyak tersebut cair, maka seluruh makanan dan minyak dalam bejana bernajis. Sebab tidak dapat dibedakan antara yang kena najis dengan yang tidak kena najis.
- Kulit binatang
Ditinjau dari hukum menkonsumsinya, maka binatang terbagi kepada dua macam, yaitu hewan yang halal memakannya dan hewan yang haram. Al-Quran dan Sunnah menyebutkan jenis hewan halal dan haram serta sifat-sifatnya sehingga nyata bagi umat Islam beda antara yang halal dengan yang haram.
Fikih Islam menegaskan bahwa seluruh bangkai adalah najis kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang. Dan seluruh bangkai diharamkan memakannya kecuali ikan dan belalang.
Apakah definisi bangkai? Bangkai adalah segala hewan haram yang telah mati, seperti anjing, babi, ular, harimau, dan tikus; dan segala hewan halal yang matinya tidak dengan penyembelihan yang sah menurut Islam. Kambing misalnya, meskipun tergolong hewan halal, apabila matinya tidak dengan penyembelihan secara Islam juga dinamakan bangkai. Karena itu juga diharamkan memakannya, baik daging maupun kulitnya.
Diharamkan memakan bangkai anjing dan babi serta segala yang dilahirkannya, baik daging, kulit maupun anggota tubuhnya yang lain. Bahkan kulit binatang ini tidak boleh dimanfaatkan oleh manusia, karena sifat najisnya tidak dapat dihilangkan. Tidak bisa disuci dan juga tidak bisa disamak. Manfaatnya bagi manusia hanya secara tidak langsung, misalnya untuk makanan ular dan binatang buas piaraan lainnya.
Kulit binatang lain selain dari anjing dan babi, meskipun haram memakannya tetapi boleh dipakai sesudah hilang sifat najisnya. Sifat najisnya dapat hilang dengan disamak. Misalnya, kulit ular, buaya, dan harimau dapat disucikan dengan disamak. Sesudah suci daripada najis, kulit binatang selain anjing dan babi serta yang dilahirkannya, boleh dimanfaatkan seperti sebagai bahan baku pakaian, tas dan ikat pinggang.
Demikian juga kulit hewan halal yang matinya tidak dengan disembelih secara Islam. Misalnya, kulit biri-biri, sapi, kerbau, dan unta. Ini semua juga menjadi suci sesudah disamak, dan boleh dipakai tetapi tidak boleh dimakan.
- Istinja
1. Definisi istinja dan hukumnya
Istinja ialah menghilangkan najis dari tempat keluar kotoran, baik dari qubul (jalan keluar kencing) maupun dari dubur (jalan keluar berak).
Diwajibkan beristinja atas orang yang qadahajat. Yang wajib disuci ialah bagian yang zahir, yaitu bagian qubul dan dubur yang dapat sampai air kepadanya.
Istinja sangat dianjurkan karena dampak dari melalaikannya amat besar. Ibadah shalat seseorang tidak sah apabila ia tidak beristinja secara benar menurut syariat. Dan berbagai penyakit terutama penyakit kulit akan mudah tertular pada orang yang tidak beristinja.
Abdullah bin Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melewati dua kuburan, maka beliau bersabda, “Ketahuilah bahwa dua orang penghuni kubur ini sedang disiksa. Dan mereka disiksa bukan karena dosa besar. Salah seorang mereka pergi berjalan untuk menyebarkan fitnah; sedangkan yang lainnya tidak bersuci dari kencingnya. Maka Nabi SAW berdoa dengan kayu yang basah, maka beliau belah dua dan meletakkan satu bagian di atas satu kuburan dan yang sebelah lagi di atas kuburan yang lain, kemudian beliau bersabda, “Mudah-mudahan selama belum kering ini dapat meringankan hukuman keduanya.”[30]
Menghilangkan najis hukmiyah dengan cara menuangkan air pada seluruh tempat bernajis; sedangkan menghilangkan najis `ainiyah dengan cara mengbuang materi najis.
Wujud najis `ainiyah belum hilang kalau masih ada bau dan warnanya. Dan hukumnya berubah menjadi najis yang dimaafkan apabila warnanya tidak dapat dihilangkan karena telah menyatu dengan benda yang kena najis.
Kalau bendanya dapat digosok atau dikikis, maka perubahannya menjadi najis yang dimaafkan setelah digosok atau dikikis.
Kalau tidak dapat digosok atau dikikis, maka perubahannya menjadi najis yang dimaafkan setelah dibasuh dan disiram beberapa kali dengan air.[31]
2. Adab qadahajat
1. Menjauh dari orang lain ketika qadahajat. An-Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis sahih berasal dari Abdurrahman bin Abu Qurad, ia berkata, “,Saya menunaikan haji bersama Rasulullah SAW, dan apabila beliau hendak qadahajat maka beliau menjauh.”[32]
2. Diharamkan membawa tulisan yang terdapat padanya nama Allah.
3. Disunatkan memakai alas kaki dan menutup kepala.
4. Disunatkan masuk WC dengan kaki kiri, dan ketika hendak masuk membaca doa. Anas bin Malik r.a. berkata, “Apabila Rasulullah SAW (hendak) masuk WC beliau membaca doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَ الْخَبَائِثِ.[33]
Artinya:
Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari yang kotor-kotor dan perbuatan-perbuatan dosa.
5. Disunakan keluar dari WC dengan kaki kanan, dan ketika keluar membaca doa:
غُفْرَانَكَ, اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى أَذْهَبُ عَنِّى اْلأَذَى وَ عَافَانِى.
Artinya:
Aku mengharapkan ampunan-Mu. Segala puji bagi Allah yang telah menjauhkan dariku hal-hal yang tercela dan memberiku kesehatan.
6. Pada waktu duduk disunatkan bersandar diatas kaki kiri, sebab hal demikian lebih memudahkan keluar berak dan kencing.
7. Adanya rukhshah (keringanan hukum) boleh kencing berdiri. An-Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis sahih yang berasal dari Hudzaifah r.a. bahwa Rasulullah SAW mendatangi tempat pembuangan sampah satu kaum (kelompok masyarakat), maka beliau kencing berdiri.”[34]
8. Makruh qadahajat di tempat lalu angin.
9. Diharamkan qadahajat di air tak mengalir.
10. Diharamkan qadahajat di air sedikit yang mengalir. Jabir r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melarang kencing di air yang tak mengalir.”[35]
11. Diharamkan qadahajat di bawah pokok yang berbuah, baik ketika berbuah maupun tidak.
12. Dilarang qadahajat pada sarang binatang. Imam an-Nasai meriwayatkan hadis dha`if yang berasal dari Qatadah, dari Abdullah bin Sarjis r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang kamu kencing pada sarang binatang.” Mereka bertanya kepada Qatadah: “,Apa sebabnya makruh kencing pada sarang binatang? Jawabnya: “,Karena dikatakan bahwa sarang binatang merupakan tempat tinggal jin.”[36]
13. Diwajibkan menutup aurat sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Kalau qadahajat sendirian dalam tempat tertutup, maka disunatkan menutup aurat dan makruh tanpa penutup sama sekali.
14. Disunatkan membuat penutup sehingga orang yang qadahajat tidak terlihat oleh orang lain. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “,Barangsiapa mendatangi tempat buang besar, maka hendaklah ia membuat penutup. Jika tidak ia dapat kecuali dengan mengumpulkan segundukan pasir, maka hendaklah ia buang air besar di balik pasir itu. Sesungguhnya setan bermain-main di tempat duduk qadahajat manusia. Siapa yang melakukannya berarti ia berbuat ihsan, dan siapa yang tak melakukannya maka tak ada dosa karenanya.”[37]
15. Diharamkan qadahajat menghadap kiblat dan membelakangi kiblat. Sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang kamu pergi berak atau kencing, maka janganlah ia menghadap kiblat dan jangan membelakanginya.”[38] Namun kalau tempatnya tertutup atau bangunan tertutup khusus untuk WC, maka hukumnya tidak haram berdasarkan hadis sahih yang berasal dari Abdullah bin Umar r.a..[39]
16. Disunatkan tidak melihat ke langit, ke kemaluan, ke yang keluar dari kemaluan, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak sambil menggosok gigi, dan tidak lama duduk.
17. Disunatkan menurunkan pakaian bertahap sebelum berdiri dari qadahajat.
18. Diharamkan qadahajat dalam masjid walaupun kotoran dimasukkan ke bejana.
19. Diharamkan qadahajat di atas kuburan, dan makruh di dekat kuburan.
21. Dilarang menjawab salam. Al-Muhajir bin Qunfudz r.a. meriwayatkan bahwa ia datang kepada Nabi SAW sewaktu beliau sedang kencing, maka ia mengucapkan salam kepada beliau, dan beliau tidak menjawab salam sampai beliau berwudu. Kemudian Nabi SAW minta maaf kepadanya, dan beliau bersabda, “,Sesungguhnya aku tidak suka menyebutkan lafaz ALLAH SWT kecuali dalam keadaan suci.”[41] Hadis yang sama juga diriwayat oleh an-Nasai dan mengategorikannya sebagai hadis sahih. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa sesudah Nabi SAW selesai berwudu beliau menjawab salam al-Muhajir bin Qunfudz.”[42]
22. Makruh istinja dengan tangan kanan. An-Nasai meriwayatkan hadis sahih yang berasal dari Abu Qatadah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “,Apabila salah seorang kamu kencing, maka janganlah ia memegang kemaluannya dengan tangan kanannya.”[43]
23. Membasuh tangan dengan sabun atau dengan alat penyuci lainnya setelah istinja. An-Nasai dan Ibnu Majah meriwayatkan hadis hasan yang berasal dari Abu Hurairah r.a., “,Bahwa Nabi SAW qadahajat, kemudian beliau istinja dari bejana yang darinya beliau berwudu, kemudian beliau menggosok tangannya dengan tanah.”[44] Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahiih Abiy Daawuud.
24. Mengeringkan pantat sebelum berdiri supaya tidak ada bekas air istinja yang melekat padanya.
- Wudu
1. Definisi dan hukum
Wudu menurut istilah syara` ialah membersihkan anggota wudu dengan niat mengangkat hadas kecil untuk boleh shalat.
Dasar hukum wajib berwudu ialah firman Allah s.w.t.:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَ امْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا وَ إِنْ كُنْتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنْكُم مِّنَ الْغَآئطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ أَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَ لَكِن يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ, عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ.[45]
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,[46] lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Diwajibkan berwudu bagi orang yang hendak mengerjakan shalat, karena suci diri dari hadas salah satu syarat sah shalat. Dan bersuci dari hadas kecil dengan cara berwudu atau bertayamum kalau tidak dapat berwudu.
Hal-hal yang mewajibkan berwudu adalah sebagai berikut:
1. Karena hendak mendirikan shalat.
2. Karena hendak tawaf di Baitullah.
3. Karena hendak menyentuh mushaf al-Quran.
4. Karena hendak mengangkat mushaf al-Quran.
Berwudu dapat berubah hukumnya dari fardu kepada sunat, makruh atau menjadi haram.
Disunatkan berwudu dalam keadaan-keadaan berikut:
1. Ketika hendak shalat fardu bagi orang yang belum batal wudunya tetapi telah ia guna untuk shalat fardu.
2. Ketika hendak menyentuh dan mempelajari kitab-kitab syariah, seperti tafsir al-Quran, hadis, usuluddin dan fikih. Kalau dalam kitab tafsir lebih banyak ayat al-Quran, maka haram menyentuhnya sebelum bersuci dari hadas.
3. Ketika hendak tidur dan ketika bangun dari tidur.
4. Sebelum mandi janabat.
5. Bagi orang yang junub ketika hendak makan, minum, tidur dan mengulangi berhubungan.
6. Ketika marah, karena wudu dapat memadamkan amarah.
7. Ketika hendak azan.
8. Ketika akan melakukan zikir.
9. Ketika ragu apakah wudunya sudah batal atau belum.
10. Ketika hendak membaca ayat-ayat al-Quran.
11. Ketika baru mengucapkan perkataan yang diharamkan, seperti menggunjing dan mengadu-adu seseorang dengan lainnya.
12. Sesudah tertawa terbahak-bahak.
13. Sesudah menyentuh, memandikan dan mengangkat mayat.
14. Ketika hendak masuk masjid atau hendak berlalu di masjid.
15. Ketika hendak wuquf dan melontar jumrah.
16. Ketika hendak ziarahi ke kubur Rasulullah s.a.w. dan kubur orang-orang muslim.
17. Ketika hendak makan.
18. Ketika keluar darah dari hidung dan sesudah berbekam.
19. Ketika mengantuk.
20. Sesudah makan daging hewan ternak, seperti daging sapi dan daging kambing.
Makruh memperbaharui wudu kalau belum diguna untuk shalat.
Diharamkan berwudu dengan air tidak halal, seperti air curian.[47]
2. Syarat sah wudu
Syarat wudu ialah hal-hal yang harus ada atau terpenuhi tetapi tidak termasuk dalam aktifitas berwudu. Syarat sah wudu ada lima:
- Beragama Islam.
- Tamyiz, yaitu telah berusia dapat membedakan baik buruknya suatu perbuatan atau tindakan.
- Dengan air yang suci lagi menyucikan.
- Tidak ada sesuatu yang menghalangi air sampai ke anggota wudu, seperti getah, cat dan sebagainya.
- Mengetahui mana yang fardu wudu dan sunatnya.
3. Rukun wudu
Rukun wudu adalah segala perbuatan atau hal yang harus dilakukan dalam berwudu dan wudu tidak sah tanpa melakukannya. Rukun wudu ada enam, yaitu:
- Niat, yaitu berniat berwudu karena Allah untuk mengangkatkan hadas kecil agar dibolehkan mendirikan shalat. Niat ini merupakan perbuatan hati dan dilakukan ketika membasuh muka. Niat tidak sah kalau dilakukan sebelum atau sesudah membasuh muka.
- Membasuh muka, yaitu mulai dari tempat tumbuh rambut sampai ke bawah dagu dan dari telinga kanan sampai ketelinga kiri. Orang botak (yang tidak ada rambutnya), batasnya mulai dari tempat biasa tumbuh rampat.
- Membasuh dua tangan sampai siku. Siku juga harus dibasuh agar basuhan sempurna.
- Menyapu kepala sehingga basah paling kurang tiga helai rambut. Ini adalah batas minimal menurut ijtihad Imam as-Syafii. Namun sebaiknya menyapu seluruh kepala sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah SAW.
- Membasuh dua kaki sampai matakaki. Mata kaki juga harus dibasuh agar basuhan sempurna.
- Tertib, yaitu mendahulukan membasuh muka, kemudian membasuh tangan, kemudian menyapu kepala, kemudian membasuh kaki.[48]
Air harus sampai dan mengalir pada tempat-tempat yang wajib dibasuh. Umar bin Khattab r.a. meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang telah berwudu tetapi siraman pada kakinya tidak sampai membasahi jari-jari kakinya dan hal itu tampak oleh Rasulullah SAW, maka beliau bersabda kepada orang itu, “Kembalilah, lakukan wudu dengan baik.” Maka orang itu kembali ke tempat berwudu (melakukan wudu yang sempurna), kedian ia shalat.
Disunatkan muwaalat, yaitu melakukan satu rukun wudu dengan rukun berikutnya secara berturut-turut tanpa diselingi dengan waktu yang lama.
4.Sunat-sunat wudu
Sunat wudu ialah segala perbuatan atau hal yang dilakukan dalam berwudu, yang berpahala memperbuatnya tetapi tidak berdosa meninggalkannya. Kualitas wudu meningkat dengan melakukan sunat wudu. Dan sunat-sunat wudu yaitu:
1. Membaca:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
Sa`id bin Zaid r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak memiliki wudu; dan tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebutkan nama Allah ketika berwudu.”[49]
2. Membasuh dua telapak tangan sampai pergelangan. Banyak sekali hadis yang menganjurkan membasuk kedua telapak tangan sampai pergelangan sebelum berwudu. Anjuran ini lebih dipertegas lagi atas orang yang baru terjaga dari tidur. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “… Apabila terjaga salah seorang kamu dari tidurnya, maka hendaklah ia membasuh tangannya sebelum memasukkannya ke dalam air wudunya. Karena sesungguhnya salah seorang kamu tidak tahu dimana tangannya bermalam.”[50]
3. Berkumur-kumur.
4. Membersihkan lubang hidung dengan cara memasukkan air dan mengeluarkannya. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang kamu berwudu, maka hendaklah ia memasukkan air ke dalam dua lobang hidungnya, kemudian ia keluarkan.”[51] Dan Abu Hurairah r.a. juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang kamu terjaga dari tidurnya, maka hendaklah ia beristintsar (memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya) tiga kali, karena sesungguhnya setan bermalam pada batang hidungnya.”[52]
5. Menyela-nyela jenggot yang tebal.
6. Menyapu seluruh kepala dengan air.
7. Menyapu sekaligus kedua telinga zahir dan batinnya.
8. Menyela-nyela jari-jari kaki.
9. Mendahulukan membasuh anggota wudu kanan dari yang kiri.
10. Membasuh dan menyapu anggota wudu tiga-tiga kali. Humran bin Abban, maula Utsman, melihat Utsman bin Affan r.a. berdoa pada bezana air wudu, maka ia tuangkan air ke atas dua telapak tangannya tiga kali dan membasuh keduanya; kemudian ia masukkan tangan kanannya ke dalam bezana, maka ia berkumur-kumur dan istintsaq (memasukkan air ke dalam hidung dan mengeluarkannya); kemudian ia basuh mukanya tiga kali; kemudian ia basuh tangan kanannya sampai situ tiga kali; kemudian ia basuh tangan kiri semisal demikian; kemudian ia sapu kepalanya; kemudian ia basuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali; kemudian ia basuh kaki kiri semisal demikian. Kemudian ia berkata, “Aku lihat Rasulullah SAW berwudu seperti wudu-ku ini; kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa berwudu seumpama wudu-ku ini, kemudian ia berdiri, maka ia shalat dua rakaat, tidak ia kotori jiwanya dalam dua rakaat itu, maka Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lewat.”[53]
Dan ulama menyebutkan doa yang dibaca ketika membasuh dan menyapu anggota wudhu sebagai berikut:
- Pada waktu membasuh muka dibaca doa:
اَللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِى يَوْمَ تَسْوَدُّ الْوُجُوْهُ.
Artinya:
Ya Allah jadikanlah mukaku putih pada hari dimana muka manusia menjadi hitam.
- Pada waktu membasuh dua tangan baca doa:
اَللَّهُمَّ أَعْطِنِى كِتَابِى بِيَمِيْنِى وَ لاَ تُعْطِنِى بِشِمَالِى.
Artinya:
Ya Allah, berikanlah bagiku kitab (catatan)-ku pada tangan kananku, dan janganlah Engkau memberiku pada tangan kiriku.
- Pada waktu menyapu kepala dibaca doa:
اَللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِى وَ بَشَرِى عَلَى النَّارِ.
Artinya:
Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku disentuh api neraka.
- Pada waktu menyapu dua telinga dibaca doa:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ.
Artinya:
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang memperhatikan perkataan, maka mereka mengikuti perkataan yang baik.
- Pada waktu membasuh dua kaki dibaca doa:
اَللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمِى عَلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ.
Artinya:
5. Menyapu sepatu khuf
Menyapu dua sepatu khuf menurut syara` ialah menyapukan tangan yang dibasahkan dengan air kepada sepatu khuf tertentu pada tempat tertentu dan pada masa tertentu.[55] Menyapu khuf salah satu rukhshah (keringanan) dalam hukum Islam.
Dibolehkan menyapu sepatu khuf dalam berwudu sebagai pengganti membasuh dua kaki, baik bagi orang mukim maupun musafir, baik lelaki maupun perempuan, dengan syarat-syarat tertentu.
Terdapat beberapa hadis yang menjadi dasar hukum menyapu khuf. Al-Mughirah bin Syu`bah r.a. berkata: “,Saya pernah bersama Nabi SAW pada satu malam dalam perjalanan, maka beliau bertanya kepada saya: ‘Apa engkau mempunyai air? Aku jawab, ‘Ya.’ Maka beliau turun dari hewan tunggangannya, beliau berjalan sehingga menghilang dalam kegelapan malam. Kemudian beliau datang, maka aku tuangkan untuknya air dari kantong air yang terbuat dari kulit, maka beliau membasuh mukanya, dan padanya ada jubah yang terbuat dari bulu domba, beliau tidak bisa mengeluarkan kedua lengannya dari jubah itu sehingga ia keluarkan keduanya dari bawah jubah. Maka beliau membasuh kedua lengannya, dan menyapu kepalanya. Kemudian saya bermaksud melepaskan dua sepatu khufnya, maka beliau bersabda: ‘Biarkan kedua khuf itu, karena saya memakaikannya dalam keadaan suci.’ Maka beliau menyapu bagian atas keduanya.” [56]
Hadis lainnya berasal dari Shafwan bin `Assal r.a. ia berkata yang maksudnya: “,Nabi s.a.w. menyuruh kami menyapu dua khuf apabila kami memakai keduanya dalam keadaan suci, tiga hari apabila kami dalam musafir, dan satu hari satu malam apabila kami mukim, dan kami tidak menanggalkannya ketika berak dan tidak ketika kencing, dan kami tidak menanggalkannya kecuali ketika janabat.[57]
Adapun syarat boleh menyapu dua khuf ialah:
1. Kedua sepatu khuf dipakai sesudah sempurna bersuci dari hadas kecil dan hadas besar.
2. Kedua sepatu khuf suci, kuat dan menutupi tempat yang wajib dibasuh dalam berwudu (tumit, telapak kaki dan sampingnya bukan bagian atasnya), dapat mencegah air masuk dari selain lobang jahitan dan sisinya.
3. Sepatu khuf kuat dipakai musafir selama tiga hari tiga malam dengan perjalanan biasa; dan bagi orang mukim, sepatu itu dapat dipakai untuk qadahajat berulangkali selama satu hari satu malam.
Adapun penyebab tidak boleh menyapu khuf ialah:
1. Janabat dan seumpamanya. Orang janabat tidak boleh menyapu khuf karena ia wajib mandi.
2. Tertanggal salah satu sepatu khuf.
3. Tampak sebagian kaki yang semestinya tertutupi khuf, karena adanya bagian khuf yang koyak.
4. Masuk air dalam jumlah banyak kedalam salah satu khuf.
5. Habis masa boleh menyapu khuf, yaitu tiga hari tiga malam bagi orang musafir, dan satu hari satu malam bagi mukim.[59]
Menyapu sepatu khuf hanya boleh untuk berwudu, tidak boleh untuk mandi atau menghilangkan najis.
Menyapu sepatu khuf tidak boleh jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi. Misalnya, salah satu sepatu koyak atau salah satu kaki tidak dapat memakai sepatu karena luka.
Disunatkan menyapu khuf dari atas dan bawahnya bersamaan. Caranya ialah dengan membenamkan dua tangan kedalam air, kemudian diletakkan perut telapak tangan kiri di bawah tumit khuf, dan perut telapak tangan kanan di atas hujung jari-jari kaki. Kemudian menjalankan telapak tangan kanan sampai ke betis, dan menjalankan telapak tangan kiri sampai ke hujung jari-jari kaki. Tumit juga harus disapu, karena itu termasuk anggota badan yang harus dibasuh dalam berwudu.[60]
6. Sunat sesudah berwudu
1. Membaca doa sebagai berikut:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِيْنَ، وَ اجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْكَ.[61] [Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Mahaesa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah saya termasuk orang-orang yang bertaubat; dan jadikanlah saya termasuk orang-orang yang bersuci. Mahasuci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu].
`Uqbah bin `Amir r.a. berkata, “Kami memiliki banyak unta gembalaan, maka datang giliranku menggembala. Aku mengembalikannya (ke kandangnya) pada petang hari, maka aku dapati Rasulullah SAW sedang berdiri berbicara kepada manusia. Aku dapati antara lain dari sabdanya, “Tidak ada dari seorang Muslim yang berwudu, lalu ia baguskan wudunya, kemudian ia shalat dua rakaat, dalam dua rakaat itu ia hadapkan hatinya dan wajahnya (kepada Allah), kecuali wajib baginya surga.” Kata `Uqbah, “Alangkah bagusnya ini.” Maka orang yang di depanku berkata, “Yang sebelum ini lagi yang lebih bagus.” Aku pandang orang yang berkata itu, rupanya Umar.” Kata Umar r.a., “Sesungguhnya aku melihatmu baru saja datang. Maka ia membacakan hadis, “Tidaklah salah seorang dari kamu berwudu, maka ia memanjangkan dan meluaskan wudu, kemudian ia membaca:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.
kecuali dibukakan untuknya pintu-pintu surga yang delapan, ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia kehendaki.”[62]
Dan Uqbah bin `Amir al-Juhaniy juga meriwayatkan hadis semisalnya, namun matan hadisnya ialah, “Barangsiapa telah berwudu, maka ia membaca:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ.[63]
2. Tidak melap bekas air wudu. Salah satu hikmahnya ialah karena air wudu bekas-bekas ibadah yang akan memancarkan sinar, dan nanti di Padang Mahsyar sinar ini akan jelas tampak bagi Rasulullah SAW sehingga beliau dengan mudah mengenal setiap umatnya dan memanggilnya untuk diberi syafa`at, antara lain diberi minum air telaga Nabi SAW, yaitu telaga al-Kautsar. Setiap orang yang telah minum air telaga ini tidak akan merasakan haus selama-lamanya.
3. Shalat sunat wudu.
7. Yang membatalkan wudu
Yang membatalkan wudu ialah segala perbuatan atau hal yang menjadikan wudu batal. Dengan batalnya wudu seseorang, ia kembali berhadas kecil. Ada beberapa hal yang membatalkan wudu, yaitu:
1. Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur), seperti kencing, berak, dan angin. Wudu juga batal karena keluar sesuatu dari tempat keluar yang dibuka dibawah perut besar dan tertutup tempat keluar yang biasa (qubul dan dubur), karena lobang yang dibuka telah berfungsi sebagai tempat keluar kencing dan berak.[64] Seorang lelaki dari Hadramaut bertanya, “Apa hadats itu wahai Rasulullah? Jawab (Nabi SAW), “Fusaa’un (Kentut tanpa suara) atau dhuraatun (kentut yang berbunyi).”[65]
2. Hilang akal karena gila, pingsan, mabuk atau sakit keras.
3. Tidur nyenyak tidak dalam keadaan duduk di lantai yang keras. Kalau tidur pada posisi duduk di tanah atau di lantai yang keras, maka tidak batal wudunya. Sabda Nabi s.a.w. yang artinya: “,Orang yang tidur pada posisi duduk tidak wajib berwudu. Tetapi orang yang tidur dengan posisi berbaring wajib berwudu.”[66]
4. Bersentuhan kulit lelaki dengan kulit perempuan yang bukan mahram tanpa lapis.
Dasar hukumnya al-Quran dan Sunnah. Firman Allah SWT dalam surat al-Maa’idah [5] ayat 6, “Atau kamu bersentuhan dengan perempuan.”
Mahram ialah perempuan yang tidak boleh dinikahi. Ada tiga sebab yang membuat dua manusia tidak boleh dinikahkan, yaitu nasab, susuhan, dan perkawinan.
Perempuan yang diharamkan menikahinya karena alasan nasab: ibu, nenek (ibu dari ayah dan ibu dari ibu), anak dan cucu, saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu, bibi (saudara ayah), makcik (saudara ibu), anak saudara lelaki (keponakan) dan cucunya, dan anak saudara perempuan (keponakan) dan cucunya, bibi ayah, bibi ibu, makcik ayah, makcik ibu. Wudu tidak batal meskipun bersentuhan dengan mereka.
Apa yang berlaku pada nasab juga berlaku pada susuhan. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah r.a. berkata, “Haramkanlah menikahi karena susuhan orang-orang yang diharamkan karena nasab.”[67] Karena itu menurut jumhur ulama, seorang anak susuhan juga diharamkan menikah dengan orang-orang yang diharamkan pada nasab,”[68] yaitu: ibu susuhan dan nenek susuhan, saudara sesusuhan, bapak susuhan (suami dari ibu yang menyusui), pakcik dan makcik susuhan (saudara ibu susuhan kandung, seayah, dan seibu), paman dan bibi susuhan (saudara dari suami ibu yang menyusukan), saudara susuhan (anak dari ibu yang menyusukan dan orang yang juga menyusu kepada ibu yang menyusukan); keponakan susuhan (anak dari saudara susuhan), kakek dan nenek susuhan (bapak dan ibu dari ibu yang menyusukan, serta bapak dan ibu dari suaminya) serta seluruh saudara kakek dan saudara nenek susuhan itu. Karena itu wudu anak susuhan tersebut juga tidak batal apabila ia bersentuhan dengan mereka.
Perempuan yang diharamkan menikahinya karena alasan kekeluargaan ialah: ibu isteri (mertua) dan nenek isteri baik sang suami melakukan hubungan suami-isteri dengan isterinya maupun tidak, isteri bapak, isteri kakek, anak isteri apabila melakukan hubungan suami-isteri dengan sang ibunya, cucu isteri apabila melakukan hubungan suami-isteri dengan sang neneknya, isteri anak (menantu), dan isteri cucu.[69] Karena itu wudu Anda juga tidak batal apabila bersentuhan dengan mereka jika antara kamu ada hubungan kekeluargaan seperti tersebut ini.
Kalau bercerai dengan seorang perempuan sebelum mengadakan hubungan suami-isteri, maka puterinya tidak termasuk mahram. Karena itu bersentuhan dengannya membatalkan wudu.
Wudu batal apabila bersentuhan dengan saudara isteri, bibi atau makciknya, walaupun mereka tergolong mahram. Sebab, sifat mahram-nya tidak kekal, hanya selama sang suami masih bersama isterinya. Kalau isterinya wafat atau mereka bercerai hidup, maka ia dibolehkan menikahi saudari, bibi atau makcik mantan isterinya.[70]
5. Menyentuh kemaluan (qubul dan dubur), baik kemaluan sendiri maupun kemaluan orang lain. Batal apabila perut telapak tangan atau kulit di antara jari-jari tangan bersentuhan dengan kemaluan tanpa lapis.[71] Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sehingga ia berwudu.”[72]
Jika Anda yakin telah berwudu, kemudian ragu apakah wudumu telah batal atau belum, maka ditetapkan wudu Anda belum batal. Sebab keyakinan tidak dapat digugurkan oleh keraguan.
Jika Anda yakin wudumu telah batal, tetapi ragu apakah telah berwudu lagi atau belum, maka ditetapkan Anda belum berwudu lagi.[73]
8. Makruh wudu
Makruh melakukan lawan sunat-sunat wudu. Dan makruh-makruh wudu yang paling penting untuk ditinggalkan adalah sebagai berikut:
1. Boros mengguna air, yaitu mengguna air lebih dari yang diperlukan menurut syara`, seperti membasuh lebih dari tiga kali basuhan walaupun berwudu dengan air milik sendiri. Namun diharamkan boros memakai air di tempat-tempat milik umum, seperti di masjid. Dasar hukumnya hadis berasal dari Abdullah bin `Amru bin `Ash yang artinya: “,Rasulullah s.a.w. lewat ketika Sa`ad sedang berwudu. Nabi s.a.w. bertanya: ‘Mengapa boros memakai air? Jawab Sa`ad: ‘Apakah ada boros dalam berwudu? Jawab Nabi s.a.w.: ‘Ya ada, walaupun kamu berwudu di sungai yang mengalir.”[74]
2. Mendekatkan muka atau anggota wudu lainnya dengan air agar tidak terpercik ke pakaian.
3. Berbicara.
4. Berwudu di tempat yang bernajis.
5. Orang yang sedang puasa bersangatan sewaktu berkumur-kumur dan istinsyaq (membasuh lubang hidung).
6. Berwudu dengan air hangat.
7. Berwudu dengan air yang dipanaskan matahari pada logam selain emas.
8. Berwudu dengan air yang sangat dingin.[75]
9. Kaifiat Berwudu
Diwajibkan membersihkan badan dari najis terlebih dahulu sebelum berwudu. Sesudah badan suci dari najis dan kotoran, lakukan hal-hal berikut:
1. Membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ sambil mencuci kedua tangan sampai pergelangan tangan.[76]
2. Berkumur-kumur sampai tiga kali sambil membersihkan mulut dan gigi. Paling baik mengguna sikat gigi.
3. Istinsyaq tiga kali, yaitu menyuci hidung dengan cara memasukkan air kedalamnya dan mengeluarkannya.
4. Membasuh muka dengan menuangkan air mulai dari tempat tumbuh rambut kepala sampai kebawah dagu, dan dari telinga kanan sampai ke telinga kiri, sambil berniat berwudu. Orang kepala botak batas mukanya adalah mulai dari tempat tumbuh rambut yang biasa.[77] Jadi berniat wudu dilakukan sewaktu awal membasuh muka. Disunatkan membasuh muka sampai tiga kali. Air yang dituangkan hendaklah diratakan dengan tangan agar merata pada muka dan masuk ke pori-pori muka. Bagi yang mempunyai jenggot dan cambang tebal hendaklah menyela-nyelanya agar air dapat masuk. Sebelum membasuh muka disunatkan membaca lafaz niat wudu sebagai berikut:
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلأَصْغَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى.
Artinya:
Aku berniat berwudu untuk mengangkat hadas kecil fardu karena Allah Ta`ala.
5. Membasuh tangan kanan dengan menuangkan air mulai dari ujung jari-jari sampai siku sebanyak tiga kali. Setelah itu, membasuh tangan kiri dengan menuangkan air mulai dari ujung jari-jari sampai siku sebanyak tiga kali. Siku juga harus dibasuh agar seluruh bagian tangan yang wajib dibasuh dapat terbasuh.
6. Menyapu seluruh kepala atau sekurang-kurangnya basah tiga helai rambut yang diatas kepala (bukan ujungnya).[78] Caranya ialah membasahkan dua telapak tangan, kemudian disapukan keduanya ke kepala mulai dari atas kening sampai ke tengkuk, dan mengembalikannya ke tempat permulaan menyapu.[79] Bagi perempuan cukup menyapu sedikit bagian kepala diatas kening, tidak perlu menyapu seluruh kepala.
7. Menyapu dua telinga sekaligus bagian luar dan dalamnya. Cara menyapunya ialah dengan membasahkan jari-jari dua tangan terlebih dahulu, kemudian jari telunjuk tangan kanan menyapu bagian dalam telinga kanan dan jari jempol kanan menyapu bagian luar telinga kanan sehingga keduanya seolah-olah menjepit telinga; dan jari telunjuk tangan kiri dan jempolnya juga melakukan hal yang sama pada telinga kiri. Dua jari-jari menyapu telinga mulai dari sebelah bawah ke atas dan dilakukan sekaligus pada dua telinga. Menyapu telinga dilakukan tiga kali, sebelum menyapu dibasahkan jari-jari terlebih dahulu.
8. Membasuh kaki kanan dengan menuangkan air mulai dari ujung jari-jari sampai ke mata kaki sebanyak tiga kali. Kemudian membasuh kaki kiri dengan menuangkan air mulai dari ujung jari-jari sampai ke mata kaki sebanyak tiga kali. Mata kaki juga harus dibasuh agar seluruh bagian kaki yang wajib dibasuh dapat terbasuh.
9. Membasuh dan menyapu harus dilakukan secara tertib, yaitu dimulai dari membasuh muka, membasuh tangan, menyapu kepala, menyapu telinga, terakhir membasuh kaki.
10. Bagi yang ingin menyapu tengkuk, dapat menyapunya tiga kali sesudah menyapu telinga.
11. Bagi yang ingin membaca doa pada setiap membasuh dan menyapu, dapat membaca doa tertentu sebagaimana disebutkan pada keterangan sunat-sunat wudu.
12. Setelah menyempurnakan wudu disunatkan membaca doa sebagaimana disebutkan di atas.
13. Selesai berdoa, dilanjutkan dengan shalat sunat wudu dua rakaat.
10. Ancaman atas orang yang tidak menyempurnakan wudu
Abdullah bin `Amru r.a. berkata, “Kami kembali bersama Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah. Setelah sampai pada satu tempat yang memiliki air, sekumpulan orang bersegera shalat ashar sehingga mereka berwudu secara tergesa-gesa. Begitu kami sampai tampak bagi kami bahwa tumit mereka kering, tidak tersentuh air. Karena itu Rasulullah SAW bersabda: “,Api neraka akan membakar tumit-tumit (yang tak basah itu), sempurnakanlah wudu.”[80]
11. Yang haram dilakukan orang berhadas kecil
Diharamkan bagi orang yang berhadas kecil:
- Shalat.
- Tawaf.
- Menyentuh mushaf al-Quran.
- Mengangkat mushaf al-Quran. Dibolehkan mengangkat satu benda yang berisi mushaf, seperti peti yang berisi mushaf, dengan niat mengangkat benda tersebut.[81]
12. Wudu orang ma’dzur
Ma’dzur ialah orang sakit yang selalu keluar kencing, madzi, berak, angin atau darah istihadhah sehingga wudunya tidak dapat bertahan lama.
Orang ma’dzur yang hendak shalat perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Setelah istinja dianjurkan menutup tempat keluar najis. Misalnya, perempuan ma’dzur menutup kemaluannya dengan softex kalau tidak memudaratkan.
2. Segera berwudu setelah istinja.
3. Bersuci dilakukan sesudah masuk waktu shalat.
4. Segera mengerjakan shalat setelah selesai bersuci. Kalau lambat mengerjakan shalat karena hal-hal yang berhubungan dengan shalat, seperti karena menutup aurat, azan, iqamat, menunggu jemaah dan pergi ke masjid, maka shalatnya sah walaupun sudah keluar sesuatu dari qubul dan duburnya. Tetapi kalau lambatnya karena hal-hal yang tidak berhubungan dengan shalat, seperti karena makan dan minum, maka shalatnya tidak sah.
5. Wudu hanya dapat diguna untuk satu shalat fardu walaupun shalat nazar, tetapi boleh untuk beberapa kali shalat sunat. Karena itu wudu yang telah diguna untuk shalat fardu harus diperbaharui jika hendak mengerjakan shalat fardu lainnya.
6. Mengerjakan shalat jenazah hukumnya sunat bagi orang ma’dzur.
7. Orang yang selalu keluar mani wajib mandi setiap hendak shalat.
8. Orang ma’dzur ketika berwudu berniat wudu untuk membolehkan shalat bukan untuk mengangkat hadas. Wudunya bukan untuk mengangkat hadas tetapi hanya untuk membolehkannya mengerjakan shalat.[82]
- Mandi
1. Definisi dan hukum mandi
Mandi ialah membasuh seluruh tubuh mulai dari puncak kepala sampai kehujung kaki dengan niat mengangkat hadas besar atau menghilangkan najis.Diwajibkan mandi bagi orang yang berhadas besar, orang yang kena najis yang tidak mungkin dihilangkan kecuali dengan cara mandi dan juga bagi perempuan yang habis haid atau nifas. Firman Allah s.w.t.:
وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهِّرُوْا.[83]
Artinya:
Dan jika kamu junub maka mandilah.
Diwajibkan mengangkat hadas besar dan menghilangkan najis, karena suci badan dari najis dan hadas salah satu syarat sah shalat.
2. Yang menyebabkan wajib mandi
Yang menyebabkan wajib mandi ialah:
1. Jimak, yaitu memasukkan hafsyah (kepala zakar) atau sekadarnya bagi orang yang terpotong kepala zakarnya, kedalam faraj (kemaluan perempuan), walaupun tidak sampai keluar mani. Diwajibkan mandi karena memasukkan zakar kedalam dubur, baik dubur perempuan, dubur lelaki, dubur khuntsa maupun dubur binatang. Dan juga diwajibkan mandi bagi orang yang menggauli mayat. Firman Allah SWT, “Dan jika kamu junub maka mandilah.”
2. Keluar mani. Mani ialah air tebal yang memancut dari kemaluan ketika kuat syahwat. Ali r.a. berkata bahwa ia menanyakan Nabi SAW tentang madzi. Jawab Nabi SAW, “Berwudu karena keluar madzi, dan mandi karena keluar mani.”[84] Madzi tidak menyebabkan wajib mandi. Madzi ialah air yang keluar dari kemaluan ketika ada syahwat yang masih rendah. Sahl bin Hunaif r.a. berkata, “Saya seringkali keluar madzi sehinggal saya sering mandi wajib. Hal itu aku sampaikan kepada Rasulullah SAW dan aku tanyakan hukumnya. Nabi SAW menjawab, “,Sesungguhnya cukup bagimu berwudu karena hal yang sedemikian.” Aku katakan, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan kainku yang terkena madzi? Jawab Nabi SAW, “Cukup bagimu dengan mengambil segenggam air dan engkau percikkan pada bagian kain yang engkau lihat terkena madzi.”[85] Memang ulama berbeda pendapat tentang kain yang kena madzi. At-Tirmidzi menulis dalam kitab Sunan bahwa menurut Imam Syafii, wajib mencuci kain, sedangkan Ahmad bin Hanbal mengatakan cukup dengan memercikkan air pada kain.”[86]
3. Haid, yaitu setelah berhenti darah haid. Haid ialah darah yang keluar dari kemaluan perempuan dewasa pada masa siklus tertentu. Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy r.a. datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku perempuan yang terus mengeluarkan darah haidh, maka aku tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan salta? Sabda Rasulullah SAW, “Tidak, sesungguhnya itu hanya keringat, dan bukan haidh. Apabila datang darah haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan apabila masa haidh telah habis, maka mandilah dengan membersihkan darah darimu, kemudian shalatlah.” Hisyam bin `Urwah r.a. berkata, dan bapakku berkata, “,Kemudian berwudulah bagi setiap shalat sehingga datang waktu yang sedemikian.”[87]
4. Nifas, yaitu setelah berhentinya darah nifas. Darah nifas ialah darah yang keluar setelah melahirkan. Masa nifas biasanya empat puluh hari terhitung dari hari melahirkan.
5. Wiladah (setelah melahirkan) jika tidak ada kebasahan. Jika ada kebasahan maka wajib mandi dari darah nifas.[88]
3. Rukun mandi
Rukun mandi ialah segala apa saja yang harus dilakukan ketika mandi dan mandi tidak sah tanpa melakukannya. Rukun mandi tiga macam, yaitu:
1. Niat. Lafaz niat mandi ialah:
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلأَكْبَرِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى.
Artinya:
Aku berniat mandi untuk mengangkat hadas besar fardu karena Allah Ta`ala.
2. Menghilangkan najis dari badan.
3. Mengalirkan air diatas kulit zahir dan diatas rambut kulit zahir sehingga air sampai kekulit yang di bawah rambut.[89]
4. Sunat-sunat mandi
Sunat-sunat mandi ialah segala apa saja yang dilakukan ketika mandi untuk menambah kualitas mandi. Sunat-sunat mandi ialah:
1. Membaca بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ pada permulaan mandi.
2. Memulai dengan membasuh dua telapak tangan tiga kali sebelum memasukkannya kedalam bejana atau sebelum menggunanya membasuh badan.
3. Terlebih dahulu membasuh kotoran yang ada pada kemaluan, dan menghilangkan najis dari badan.
4. Berwudu. Disunatkan berwudu terlebih dahulu sebelum mandi. Abdullah bin Abbas r.a. berkata, “,Makcikku Maimunah menyampaikan hadis kepada saya, ia berkata: “Aku dekatkan untuk Rasulullah SAW baskom airnya untuk mandi janabat, maka ia basuh kedua telapak tangannya dua kali atau tiga kali, kemudian ia masukkan tangannya kedalam bejana, kemudian ia cucurkan air ke atas kemaluannya, dan membasuhnya dengan tangan kirinya, kemudian ia pukulkan tangan kirinya ke lantai, maka ia menggosoknya dengan gosokan yang kuat, kemudian ia berwudu dengan wudu untuk shalat. Kemudian ia cucurkan air ke atas kepalanya tiga kali sepenuh kedua telapak tangannya, kemudian ia basuh seluruh badannya, kemudian ia bergeser dari tempat berdirinya, maka ia basuh kedua kakinya, kemudian aku beri ia sapu tangan, maka ia menolaknya.”[90] “,Maka ia tidak melapnya dengan sapu tangan, dan ia bersabda: “Air yang ada pada badan seperti ini”, yakni ia menghilangkan air dengan tangannya.”[91] Pada hadis lain diriwayatkan bahwa Maimunah r.a. berkata, “,Aku letakkan baskom air untuk mandi janabat Rasulullah SAW, dan aku menutupinya dengan satir (penutup), maka ia pun mandi.”[92]
5. Mendahulukan membasuh bagian badan sebelah kanan dari yang sebelah kiri. Al-Qasim r.a. meriwayatkan bahwa Aisyah r.a. berkata, “Apabila Rasulullah SAW mandi janabat, beliau berdoa dengan sesuatu seumpama bejana, maka ia mengambil air dengan telapak tangannya, memulai membasuh separuh kepalanya yang kanan, kemudian membasuh yang sebelah kiri. Kemudian ia mengambil air dengan kedua telapak tangannya, maka ia berkata (membaca doa) dengan posisi kedua telapak tangannya di atas kepalanya.”[93] Dan Abu Salamah bin Abdurrahman r.a. meriwayatkan bahwa Aisyah r.a. berkata, “Apabila Rasulullah SAW mandi, ia mulai dengan bagian badannya yang kanan, maka ia tuangkan air ke atasnya, maka ia membasuhnya. Kemudian ia tuangkan air ke atas kotoran yang ada pada bagian kanannya. Dan ia membasuh yang sebelah kirinya sehingga apabila selesai, maka ia tuangkan air ke atas kepalanya.”[94]
6. Membasuh badan sampai tiga kali.
7. Membaca doa sesudah selesai mandi sebagaimana doa sesudah berwudu.
8. Perempuan yang mandi karena berhenti haid atau nifas disunatkan terlebih dahulu membersihkan bekas-bekas darah yang pada badannya dengan kain atau kapas yang diperciki minyak kesturi atau wangi-wangian.
5. Cara perempuan mandi wajib
Sebagaimana dapat dilihat pada keterangan di atas bahwa perempuan diwajibkan mandi apabila telah berhenti darah haidh dan darah nifas, sesudah melahirkan, dan juga karena bersetubuh.
Allah SWT berfirman:
و يسئلونك عن المحيض قل هو أذًى فاعتزلوا النساء فى المحيض و لا تقربوهنَّ حتى يطهرن فإذا تَطَهَّرْنَ فأتوهن من حيث أمركم الله إن الله يحب التوابين و يحب المتطهرين.[95]
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Ia adalah gangguan.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah amat bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersungguh-sungguh menyucikan diri.
Dan Rasulullah SAW bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu (yang selama ini dibenarkan) kecuali hubungan seks.” (HR. Muslim).
Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Asma’ bertanya kepada Nabi SAW tentang mandi dari darah haidh.
Jawab Rasulullah SAW, “Salah seorang kamu mengambil air dan pohon bidara, maka ia suci dan ia baguskan suciannya, kemudian ia tuangkan air ke atas kepalanya, maka ia gosok kepalanya dengan gosokan yang kuat sehingga air sampai ke kulit kepalanya, kemudian ia tuangkan ke atasnya air, kemudian ia ambil sepotong kain yang diminyaki dengan kesturi maka ia bersihkan dengan kain itu.
Asma’ bertanya, “Bagaimana cara membersihkannya dengan kain itu?
Jawab Rasulullah SAW, “Subhanallah, engkau bersihkan dengan mengguna kain itu.”
Kata Aisyah r.a., “,Maka aku tarik Asma’ kepadaku, dan aku mengerti apa yang dimaksud oleh Nabi SAW, maka aku katakan, –seolah-olah ia (Aisyah) menyembunyikan hal itu- “Engkau ikutkan (gosokkan pelan-pelan) kain itu pada bekas yang kena darah.”
Dan Asma’ (juga) bertanya kepada Nabi SAW tentang cara perempuan mandi janabat.
Jawab Nabi SAW, “,Seorang perempuan mengambil air, maka ia bersuci, ia baguskan suciannya atau ia sampaikan suciannya. Kemudian ia tuangkan air ke atas kepalanya, ia gosok kepalanya hingga sampai ke kulit kepalanya. Kemudian ia curahkan ke atasnya air.”
Kata Aisyah r.a., “,Sebaik-baik perempuan adalah perempuan Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk mendalami agama.”[96]
6. Yang haram bagi orang junub
Diharamkan bagi orang yang junub:
- Shalat.
- Tawaf di Baitullah.
- Menyentuh mushaf al-Quran.
- Mengangkat mushaf al-Quran.
- Membaca al-Quran.
- Berdiam di masjid. Kalau sekedar lalu saja dibolehkan.[97]
6. Yang haram bagi perempuan haid
Diharamkan bagi perempuan haid:
1. Shalat.
2. Tawaf di Baitullah.
3. Menyentuh mushaf al-Quran.
4. Mengangkat mushaf al-Quran.
5. Membaca al-Quran.
6. Berdiam di masjid. Kalau sekedar lalu saja dibolehkan jika yakin tidak akan mengotori masjid.
7. Bersenang-senang dengan apa yang ada di antara pusat dan lutut.
8. Berpuasa.
- Tayamum
1. Definisi dan hukum tayamum
Tayamum ialah menyapu muka dan dua tangan sampai siku dengan debu tanah yang suci dengan niat agar dibolehkan shalat. Dibolehkan tayamum sebagai pengganti wudu dan mandi untuk mengangkat hadas kecil dan hadas besar dengan syarat-syarat tertentu.
Dasar hukumnya al-Quran dan Sunnah. Firman Allah s.w.t.:
وَ إِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنْكُمْ مِنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ أَيْدِيكُمْ مِنْهُ.[98]
Artinya:
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Diriwayatkan dari Ammar bin Yasir r.a., ia berkata: Saya junub, maka saya berguling-guling di tanah yang suci, kemudian saya beritahu Rasulullah s.a.w. halku yang sedemikian, maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya cukup bagimu begini.’ Lalu beliau memukulkan kedua tangannya ke tanah, menyapu muka dan kedua tangannya.[99] Dan sabda Nabi s.a.w. yang artinya: “,Tayamum adalah dua kali pukulan, satu pukulan untuk muka, dan satu pukulan (lagi) untuk dua tangan sampai siku.”
2. Syarat tayamum
Fuqaha mazhab Syafii menyebutkan syarat-syarat tayamum sebagai berikut:
- Dengan debu tanah yang suci lagi menyucikan.
- Disengaja menyapukan debu tanah. Tidak sah tayamum dengan debu yang diterbangkan angin walaupun disapukan ke anggota tayamum.
- Menyapu muka dan dua tangan dengan dua kali pukulan.
- Menghilangkan najis dari badan.
- Mencari air dengan sungguh-sungguh kalau penyebab bertayamum karena tidak ada air.
- Bertayamum sesudah masuk waktu shalat.
- Satu kali tayamum dapat diguna hanya untuk satu kali shalat fardu `ain dan untuk shalat-shalat sunat.
3. Rukun tayamum
Rukun tayamum ialah:
- Niat, yaitu berniat tayamum untuk boleh mendirikan shalat. Lafaz niatnya:
نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ ِلإِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى.
Artinya:
Aku berniat tayamum untuk boleh mendirikan shalat fardu karena Allah.
- Menyapu dua tangan sampai siku dengan debu tanah yang suci.
- Tertib (mendahulukan menyapu muka dari menyapu tangan).
4. Sunat-sunat tayamum
Sunat-sunat tayamum ialah:
- Membaca:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
pada awal bertayamum.
- Memulai daripada bagian muka paling atas.
- Mendahulukan menyapu tangan kanan daripada tangan kiri.
- Merenggangkan jari-jari tangan pada pukulan pertama.
- Menyela jari-jari tangan sesudah menyapu dua tangan.
- Menipiskan debu sehingga tinggal sekadar yang diperlukan.
- Muwaalat, yaitu berturut-turut tanpa diselingi waktu lama antara menyapu muka dengan menyapu tangan.
- Muwaalat antara tayamum dengan shalat, yaitu antara tayamum dengan shalat tidak diselingi waktu yang lama.
- Menjalankan tangan pada anggota tayamum dan tidak diangkat sebelum sempurna menyapunya.
- Tidak mengulang-ulang menyapu.
- Menghadap kiblat.
- Membaca doa sesudah tayamum sebagaimana doa sesudah berwudu.
- Menanggalkan cincin pada pukulan pertama. Adapun menanggalkan cincin pada pukulan kedua adalah wajib.
- Shalat sunat dua rakaat sesudah tayamum.
- Memakai siwak sebelum tayamum, yaitu antara membaca:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
dengan memindahkan debu tanah ke anggota tayamum.
5. Makruh tayamum
Makruh tayamum ialah:
- Membanyakkan debu tanah.
- Mengulang-ulang menyapu.
- Memperbarui tayamum walaupun sudah mendirikan shalat.
- Mengibaskan tangan walaupun sesudah sempurna tayamum.
6. Yang membatalkan tayamum
Yang membatalkan tayamum ialah:
- Segala yang membatalkan wudu.
- Hilangnya uzur yang membolehkan tayamum, seperti sembuhnya penyakit yang menyebabkan uzur mengguna air.
- Melihat air sebelum shalat jika penyebab tayamum karena tidak ada air.
Menurut mazhab Syafii, kalau seseorang tayamum karena tidak ada air, kemudian ia melihat air sewaktu mendirikan shalat, maka batal tayamum dan shalatnya. Ia wajib berwudu dan mendirikan shalat. Tidak batal tayamum orang musafir walaupun ia melihat air sewaktu shalat. Batal tayamum orang mukim apabila melihat air sesudah selesai shalat kalau waktu shalat masih ada dan bisa untuk berwudu dan mengulangi shalat. Ia wajib berwudu dan mengulangi shalatnya.
Namun menurut jumhur ulama, orang mukim yang telah selesai mendirikan shalat tidak wajib mengulangi shalatnya walaupun telah ada air.
Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, tayamum batal karena melihat air sewaktu shalat, baik bagi orang mukim maupun orang musafir. Karena itu diwajibkan berwudu dan mendirikan shalat lagi.
Menurut mazhab Maliki, tayamum tidak batal walaupun melihat air sewaktu shalat. Karena itu diwajibkan menyempurnakan shalat.
- Kalau Tak Ada Alat bersuci
- Menurut fuqaha mazhab Syafii, orang yang tidak mendapat air dan tanah yang suci untuk bersuci tetap diwajibkan mendirikan shalat fardu dan mengulanginya setelah mendapat air atau debu tanah yang suci. Shalat yang dilakukan dalam keadaan berhadas tersebut untuk menghormati waktu. Shalat wajib diulangi karena uzur sedemikian jarang dan tidak kekal. Orang tersebut tidak boleh mengerjakan shalat sunat. Demikian juga hukumnya bagi orang yang tidak dapat mengguna air dan debu tanah karena sakit. Kalau orang yang tidak mendapat air dan debu tanah yang suci sedang junub (berhadas besar), ia cukup sekedar melakukan rukun fi`li dan membaca al-Fatihah. Tidak boleh membaca kalimat-kalimat lain seperti doa iftitah, tasbih, doa, tasyahud dan selawat.
- Fatwa mazhab Hanafi juga sama dengan pendapat mazhab Syafii diatas. Namun orang shalat tanpa bersuci, menurut mazhab Hanafi, hanya sekedar melakukan rukun fi`li saja, tidak membaca dan tidak berniat.
- Menurut pendapat muktamad (kuat) dalam mazhab Maliki, orang yang tidak mendapat air dan debu tanah yang suci tidak wajib mendirikan shalat dan tidak wajib menqadanya. Demikian juga hukumnya bagi orang yang tidak dapat mengguna air dan debu tanah karena sakit.
- Menurut mazhab Hanbali, diwajibkan atas orang yang tidak mendapat air dan debu tanah yang suci mendirikan shalat fardu dan tidak wajib mengulanginya. Namun ia hanya melakukan rukun shalat saja seperti berdiri, rukuk, i`tidal, sujud, duduk antara dua sujud, membaca al-Fatihah, dan membaca tasbih satu kali. Tidak boleh mengerjakan shalat sunat, dan tidak boleh menjadi imam bagi orang yang berwudu atau bertayamum tetapi boleh menjadi imam bagi orang yang tidak mendapat air dan debu tanah yang suci.
Shalat orang yang tidak mendapat air dan debu tanah yang suci batal apabila ia berhadas, seperti kentut dalam shalat, atau jatuh padanya najis yang tidak dimaafkan.
Jika orang yang tidak mendapat air dan debu tanah yang suci sedang junub, maka ia tidak boleh membaca al-Quran selain pada waktu shalat, sebagaimana perempuan dalam masa haid dan nifas. Dasar pendapat ini sabda Nabi Muhammad SAW: “,Apabila aku perintahkan kamu sesuatu, maka lakukan semampumu.”
Dan diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa ia meminjam kalung Asma, kemudian kalung itu hilang. Rasulullah s.a.w. menyuruh beberapa orang lelaki mencarinya, dan mereka pun menemukannya. Kemudian waktu shalat masuk sedangkan mereka tidak mendapat air. Mereka shalat tanpa berwudu. Kemudian mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah s.a.w. Karena itu Allah s.w.t. menurunkan ayat tentang tayamum.”[100]
[1] HR. al-Bukhari dan Muslim. Baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 1149; dan Shahiih Muslim, hadis nomor 6274.
[2] HR. Ahmad bin Hanbal, at-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah dan hadis ini dikutip oleh al-`Asqallany dalam Fath al-Baariy. Baca Fath al-Baariy, j.3., hlm.346
[3] Baca al-`Asqallanuiy, Fath al-Baariy bisyarh shahiih al-Bukhaariy, j.3, hlm. 346.
[4] HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Baca Sunan Abiy Daawuud, hadis nomor 61; Sunan al-Tirmidziy, hadis nomor 3; dan Sunan Ibni Maajah, hadis nomor 275.
[7] Hadis seperti ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. dan juga dari `Amru bin `Anbasah r.a. dan Abu Dawud dari ash-Shanabihi dengan isnad yang sahih; dan dikutip oleh al-Ghazali dalam kitab Ihyaa’. Baca Al-Ghazali, Ihyaa’ `uluum al-diin, j.1, h.135.
[9] HR. Ibnu al-Mubarak dalam kitab az-Zhud ar-Raqaiq dan dikutip oleh al-Ghazali dalam kitab Ihyaa’. Baca al-Ghazali, Ihyaa’, j.1, h.134.
[10] HR. Muslim, Shahiih Muslim, hadis nomor 580.
[11] HR. al-Bukhari, Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 136.
[12] Terjemahan al-Quran surat al-Hijr [15] ayat 39-42.
[13] HR. Muslim, baca Shahiih Muslim, hadis nomor 552; dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah hadis berasal dari Anas bin Malik r.a., dari Nabi s.a.w. beliau bersabda: “Siapa yang berwudu dengan menyempurnakan wudunya, kemudian ia mengucapkan tiga kali: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ maka dibukakan untuknya delapan pintu surga, dan dipersilakan masuk dari pintu yang mana ia kehendaki. Baca Ibnu Majah, Sunan Ibni Maajah, hadis nomor 469.
[14] Baca Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmuu` Syarh al-Muhadzdzab, Darul Fikri, Beirut, t.t.h., j.1, h.124
[15] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy wa Adillatuh, Darul Fikri, Damaskus, 1989, j.1, h.109-110.
[16] HR. tujuh orang sahabat. Baca Ibnu al-Mundzir, Nashb al-Raayah, j.1, h.95.
[17] Dua kullah sama dengan 216 liter atau 196 kg. Jika bejananya berbentuk bak maka isinya ialah: panjang 60 cm, dalam/tinggi 60 cm.
[18] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.113-127.
[19] Baca Abu Ishaq asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imaam asy-Syaafi`iy, t.tp., Darul Fikri, t.th., j.1, h.5; az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy wa adillatuh, j.1, h.116-117.
[20] HR. Bukhari dan Muslim.
[21] Baca az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.123-124.
[22] Baca az-Zuhaili, al-Fiqh al-islaamiy, j.1, h.129-132.
[23] Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.46.
[24] Baca az-Zuhaili, al-Fiqh al-islaamiy, j.1, h.146-147; Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.11; dan an-Nawawi, al-Majmuu`, j.2, h.576.
[25] HR. al-Bukhari dan Muslim, baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 172; dan Shahiih Muslim, hadis nomor 649; dan matan yang dikutip menurut riwayat Muslim.
[26] Baca al-`Asqallani, Fath al-Baariy Bisyarh Shahiih al-Bukhaariy, j.1., hlm.370.
[28] Sebaiknya tidak mengguna wangi-wangian yang dicampur dengan alkohol walaupun sedikit kadar alkoholnya apalagi kalau wangi-wangian tanpa alkohol bisa didapat.
[29] Baca az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.173-176.
[30] HR. Muslim, baca Shahiih Muslim, hadis nomor 675 dan 676.
[31] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihyaa’ `uluum al-diin, Semarang, Taha Putra, t.th., j.1, h.129.
[32] Baca Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 16; dan Sunan Ibni Maajah, hadis nomor 334.
[33] HR. Muslim dan an-Nasai. Baca Shahiih Muslim, hadis nomor 829; dan Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 19.
[34] Baca Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 26; dan Sunan Ibni Maajah, hadis nomor 305.
[35] HR. an- Nasai. Baca Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 35.
[36] Baca Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 34.
[37] Baca Sunan Abiy Daawuud, hadis nomor 35.
[38] HR. an-Nasai. Baca Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 20.
[39] HR. an-Nasai. Baca Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 23.
[40] Dasarnya ialah pujian Allah s.w.t. terhadap penduduk Kuba yang menggabungkan batu dan air pada istinja. Baca al-Ghazali, Ihyaa’ `uluum al-diin, j.1, h.131; dan az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.192-206.
[41] Baca Sunan Abiy Daawuud, hadis nomor 17.
[42] Baca Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 37.
[43] Baca Sunan an-Nasaa’iy, hadis nomor 24.
[44] Baca Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 50.
[45] QS. Al-Maa’idah [5]:6.
[46] Artinya menyentuh. Menurut jumhur ialah “menyentuh” sedang sebahagian mufassirin ialah “menyetubuhi”.
[47] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h. 212.
[48] Tertib menjadi rukun wudu berdasarkan sabda Nabi SAW riwayat an-Nasai yang artinya: “,Mulailah (berwudu) dengan anggota wudu yang pertama disebutkan Allah.”
[49] HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Baca Sunan al-Tirmidziy, hadis nomor 25; dan Sunan Ibni Maajah, hadis nomor 397 dan 398.
[50] HR. al-Bukhari, baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 162.
[51] HR. al-Bukhari dan Muslim, baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 161; dan Shahiih Muslim, hadis nomor 559.
[52] HR. al-Bukhari dan Muslim, baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 3295; dan Shahiih Muslim, hadis nomor 563.
[53] HR. al-Bukhari dan Muslim dan matannya menurut riwayat Muslim. Baca Shahiih Muslim, hadis nomor 537; dan Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 159 dan 164.
[54] Baca asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.19-20.
[55] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.317.
[56] HR. muttafaqun `alía dan matannya menurut Imam Muslim. Baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 182; dan Shahiih Muslim, hadis nomor 630.
[57] HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, an-Nasai, asy-Syafii, Ibnu Majah, at-Tirmidzi; dan sahih menurut at-Tirmidzi dan Ibnu Majah; dan hadis hasan menurut al-Bukhari. Baca Muhammad bin Ismail ash-Shan`ani, Subul al-Salam, j.1, h.57-61; dan asy-Syaukani, Nayl al-Awthaar, j.1, h.181.
[58] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.333; dan asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.20-21.
[59] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.338-340.
[60] Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j, h. 20-22.
[61] Doa ini disebutkan an-Nawawi dalam Raudhatuth Thalibin; dasarnya hadis shahih ditakhrij oleh an-Nasai dalam Amal al-Yawm wa al-Laylah [nomor 81]; Ibnu as-Sunni [nomor 30]; al-Hakim dan lainnya; dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahiih al-Targhiib. Baca an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin, j.1, hlm.221.
[62] HR. Muslim, baca Shahiih Muslim, hadis nomor 552.
[63] HR. Muslim, baca Shahiih Muslim, hadis nomor 552.
[64] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.266-267.
[65] HR. al-Bukhari, baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 135
[66] HR. `Amru bin Syu`aib, dari ayahnya, dari kakeknya.
[67] Baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 5111.
[69] Penjelasan tentang mahram (perempuan yang diharamkan menikahinya) dapat dibaca dalam al-Quran surat an-Nisaa’ [4] ayat 23.
[70] Penjelasan tentang mahram di atas berdasarkan hadis antara lain diriwayatkan oleh al-Bukhari. Baca al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bukhaariy, j.10, hlm.191-20.
[71] Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.22-25.
[72] HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah dalam kitab sunan. Baca Sunan Abiy Daawuud, hadis nomor 181; Sunan al-Tirmidziy, hadis nomor 82; Sunan al-Nasaa’iy, hadis nomor 163; dan Sunan Ibn Maajah, hadis nomor 479.
[73] Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.25.
[74] HR. Ibnu Majah.
[75] Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.260-264.
[76] Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak ada shalat bagi orang yang tak berwudu, dan tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebutkan بسم الله الرحمن الرحيم. Baca Ibnu Majah, Sunan Ibni Maajah, hadis nomor 398 dan 399. Sebagian ulama memahami hadis ini bahwa tidak sempurna wudu tanpa membaca basmalah.
[77] Membasuh ialah menuangkan air pada anggota wudu. Berniat berwudu harus dilakukan ketika awal membasuh muka. Wudu tidak sah kalau berniatnya sesudah selesai membasuh muka.
[78] Menyapu ialah menyapu anggota wudu (kepala dan telinga) dengan tangan yang sudah dibasahkan.
[79] Cara sedemikian berdasarkan sunnah Rasulullah SAW riwayat at-Tirmidzi. Baca Sunan al-Tirmidziy, hadis nomor 32. Namun Rasulullah SAW juga pernah menyapu kepala beliau mulai dari belakang kemudian dibawah ke depan dan dikembalikan lagi ke belakang. Baca Sunan al-Tirmidziy, hadis 33; Sunan Abiy Daawuud, hadis nomor 127; dan Sunan Ibni Maajah, hadis nomor 390.
[80] HR. Muslim, baca Shahiih Muslim, hadis nomor 569.
[81] Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.25.
[82] Baca az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.1, h.288-294.
[83] QS. Al-Maa’idah, 5:6.
[84] HR. at-Tirmidzi dan mengatakannya hasan shahih, dan Ibnu Majah dan menyebutnya shahih. Baca Sunan al-Tirmidziy, hadis nomor 114; dan Sunan Ibn Maajah, hadis nomor 504.
[85] HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam kitab Sunan. Baca Sunan Abu Dawud, hadis nomor 210; Sunan al-Tirmidziy, hadis 115 dan tergolong hasan shahih menurut at-Tirmidzi; dan Sunan Ibn Maajah, hadis nomor 506.
[86] Baca at-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidziy, hlm.49.
[87] HR. Al-Bukhari dan Muslim. Baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 228; dan Shahiih Muslim hadis nomor 751
[88] Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.29-30.
[89] Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.31.
[90] HR. Muslim. Baca Shahiih Muslim, hadis nomor 720.
[91] HR. Muslim. Baca Shahiih Muslim, hadis nomor 722.
[92] HR. Muslim. Baca Shahiih Muslim, hadis nomor 765.
[93] HR. Muslim. Baca Shahiih Muslim, hadis nomor 723.
[94] HR. Muslim. Baca Shahiih Muslim, hadis nomor 727.
[96] HR. Muslim. Baca Shahiih Muslim, hadis nomor 746 dan 748.
[97] Asy-Syirazi, al-Muhadzdzab, j.1, h.30.
[98] QS. Al-Maaidah, 5:6.
[100] HR. muttafaqun `alaih.
No comments:
Post a Comment