Sunday, July 17, 2011

QADHA, FIDYAH & KIFARAT PUASA RAMADHAN


Oleh: Drs. H. Imran Effendy Hasibuan, MA.[1]

  1. Qadha

Allah SWT berfirman yang artinya: “,Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah,2:184). Selain ayat ini masih ada nash lain yang menjadi dasar wajibnya menqadha puasa Ramadhan, seperti hadis yang berasal daripada Aisyah r.a., ia berkata: “,Kami menstruasi (haidh) pada masa Rasulullah SAW, maka kami disuruh menqadha puasa dan tidak disuruh menqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Qadha Ramadhan adalah mengganti puasa Ramadhan dengan berpuasa pada bulan lain sebanyak hari-hari Ramadhan yang ditinggalkan. Menqadha puasa Ramadhan dibolehkan hanya pada hari-hari yang dibolehkan berpuasa sunat. Tidak boleh pada hari-hari yang diharamkan berpuasa (hari raya fitrah, hari raya haji, dan hari-hari tasyriq). Dan menurut ulama mazhab Syafii dan mazhab Maliki, juga tidak boleh menqadha pada hari-hari yang sudah dinazarkan untuk puasa. Seperti kalau sudah bernazar puasa pada sepuluh hari pertama Zulhijjah (1-10 Zulhijjah) maka tidak boleh menqadha Ramadhan dalam sepuluh hari ini. Namun menurut ulama mazhab Hanafi, kalau menqadha Ramadhan dilakukan pada hari-hari tersebut, maka puasa qadha Ramadhan sah dan puasa nazarnya harus diganti pada hari-hari yang lain.
Disunatkan segera menqadha Ramadhan agar cepat terbebas dari kewajibannya. Juga disunatkan menqadha secara berturut-turut apabila sudah mulai menqadha. Namun kalau diakhirkan menqadha atau dipisah hari-harinya juga sah. Demikian menurut jumhur ulama termasuk Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin idris asy-Syafii, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Menurut jumhur ulama, wajib segera menqadha apabila sudah dekat Ramadhan berikutnya sehingga tinggal sejumlah hari-hari untuk menqadha, seperti bulan Sya`ban tinggal sepuluh hari lagi sedangkan puasa Ramadhan yang harus diqadha berjumlah sepuluh hari. Dan menurut Imam Syafii dan ulama mazhab Syafii, juga wajib segera menqadha apabila berbuka pada siang Ramadhan tanpa `udzur syar`iy (bukan karena alasan yang dibenarkan syariat).[2]
Orang-orang yang diwajibkan menqadha puasa Ramadhan ialah:
1.          Orang sakit yang secara medis ada harapan sembuhnya. Golongan inilah yang dimaksud oleh surat al-Baqarah ayat 184: “,Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. Orang yang sakit dibolehkan berbuka apabila merasa berat berpuasa dan wajib berbuka apabila puasa akan berdampak buruk terhadap dirinya atau akan memperlambat penyembuhannya. Dan bagi golongan ini diwajibkan mengganti puasanya pada hari-hari lain di luar Ramadhan sebanyak hari yang ia tinggalkan.  
2.          Orang musafir. Perjalanan yang membolehkan orang musafir berbuka pada siang Ramadhan hanya perjalanan yang karenanya dibolehkan menqashar shalat.[3] Menurut jumhur (mayoritas) ulama, orang yang sudah berniat puasa Ramadhan pada malam hari dan akan bertolak dari rumahnya (tempat mukimnya) pada siang hari, tidak dibolehkan berbuka sebelum keluar dari tempat muqimnya. Namun menurut Imam Ahmad bin Hanbal dibolehkan makan walaupun masih berada di rumah (tempat mukim). Mengenai perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan Imam Ahmad ini, Sayid Sabiq menulis dalam kitabnya:
 وَ أَمَّا إِذَا نَوَى الصَّوْمَ – وَ هُوَ مُقِيْمٌ – ثُمَّ سَافَرَ فِى أَثْنَاءِ النَّهَارِ فَقَدْ ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى عَدَمِ جَوَازِ الْفِطْرِ لَهُ وَ أَجَازَهُ أَحْمَدُ وَ إِسْحَاقُ.[4]

(Adapun apabila orang yang hendak musafir telah berniat puasa pada malamnya – dan ia masih mukim – kemudian ia musafir pada tengah harinya, maka jumhur ulama berpendapat tidak boleh baginya berbuka [membatalkan puasanya] akan tetapi boleh menurut Ahmad dan Ishaq).

Imam Ahmad bin Hanbal beralasan dengan hadis yang berasal dari Muhammad bin Ka`ab, ia berkata: “,Aku datang kepada Anas bin Malik r.a. pada bulan Ramadhan sewaktu ia hendak musafir dan sudah disiapkan hewan tunggangan untuknya dan sudah memakai pakaian musafir, maka ia meminta makanan dan makan. Aku katakan kepadanya: (Apakah ini) sunnah? Ia jawab: (Ya) sunnah. Kemudian ia menunggang hewan tunggangannya.” (HR. at-Tirmidzi, dan hadis hasan menurutnya).[5]

Kalau berniat puasa sesudah mulai musafir (sudah meninggalkan tempat mukim), maka seluruh ulama sepakat dibolehkan berbuka pada siangnya atau membatalkan puasa.

Mengenai mana yang paling afdhal (utama) antara berpuasa dengan berbuka bagi orang musafir ada tiga pendapat: pertama, menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan Imam Syafii berpuasa lebih afdhal apabila perjalanan tidak memberatkan, namun berbuka lebih afdhal apabila perjalanannya memberatkan. Sebab bolehnya berbuka merupakan rukhshah (keringanan), dan meninggalkan keringanan lebih afdhal apabila tidak ada keberatan. Karena menurut akal, keringanan diberikan apabila ada keberatan. Dasarnya hadis riwayat Aisyah r.a., ia berkata: “,Aku keluar bersama Nabi SAW untuk umrah pada bulan Ramadhan, beliau berbuka dan aku puasa, beliau menqashar dan aku menyempurnakan. Maka aku katakan, “Demi Bapakku dan Ibuku, engkau berbuka sedangkan aku berpuasa; engkau menqashar sedangkan aku menyempurnakan”. Jawab Nabi s.a.w.: Engkau berbuat ihsan wahai Aisyah.” (HR. Ad-Daruqutuni). Dan juga hadis Nabi SAW riwayat Hamzam bin `Amru al-Aslamiy, bahwa ia berkata: “,Wahai Rasulullah, saya kuat untuk berpuasa waktu musafir, maka apakah aku berdosa (kalau berpuasa)? Jawab Rasulullah SAW: “,(Berbuka itu adalah) rukhshah (keringanan) dari Allah, maka siapa yang mengambil rukhshah, itu bagus. Dan siapa yang ingin berpuasa maka tidak ada dosa atasnya.” (HR. Muslim). Pendapat kedua menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan jamaah, berbuka lebih afdhal bagi orang musafir walaupun perjalanannya tidak memberatkan. Dasarnya hadis Nabi SAW: “,Bukanlah termasuk kebaikan bahwa engkau berpuasa dalam musafir.” Selain itu bahwa pada tahun-tahun terakhir dari masa hidup Rasulullah SAW beliau berbuka pada waktu musafir. Karena itu Imam Hanbali memahami bahwa berbuka lebih afdhal daripada berpuasa. Pendapat ketiga, hal ini diserahkan kepada orang musafir untuk memilih antara berbuka dengan berpuasa. Dasar pendapat ini hadis Nabi SAW riwayat Aisyah r.a., bahwa Hamzah bin `Amru al-Aslamiy bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa dalam perjalanan, maka Nabi SAW bersabda: “,Jika kamu mau silakan berpuasa; dan jika kamu mau silakan berbuka.” (HR. Muslim).[6]

Ulama sepakat bahwa orang musafir dan orang sakit wajib menqadha puasa Ramadhan pada bulan yang lain dan tidak ada fidyah.
3.          Perempuan yang menstruasi (haidh) dan nifas. Diharamkan berpuasa bagi perempuan yang sedang menstruasi dan nifas dan wajib menqadha puasa Ramadhan yang tertinggal pada hari-hari lain. Kalau ia berpuasa juga, puasanya tidak sah dan ia berdosa dan tetap wajib menqadhanya. Ummul Mukminin Aisyah r.a. berkata: “,Kami menstruasi pada masa Rasulullah SAW, maka kami disuruh menqadha puasa dan tidak disuruh menqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
4.          Orang mukmin mukalaf (baligh dan berakal) yang berbuka (makan atau minum) pada siang Ramadhan tanpa udzur syar`iy (alasan yang dibenarkan oleh syariat). Orang seperti ini tergolong pelaku maksiat dan berdosa besar karena tidak menaati perintah Allah SWT. Dan sesudah masuk bulan Syawal, wajib segera menqadha tidak boleh menundanya. Kalau ditunda dosanya bertambah setiap hari.
        
Apakah golongan keempat ini wajib menqadha dan membayar fidyah?

Ini termasuk masalah khilafiyah (yang diperselisihkan oleh ulama). Imam Abu Hanifah dan sahabatnya, Imam Malik bin Anas dan sahabatnya, ats-Tsauriy dan jama`ah ulama berpendapat bahwa orang yang sengaja makan-minum pada siang Ramadhan atau tidak berpuasa Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan Syariat (`udzur syar`iy), wajib menqadha dan membayar kifarat yaitu memerdekakan seorang hamba sahaya atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin.
Menurut Imam Syafii dan Imam Hanbali, kewajiban kifarat hanya bagi orang yang berbuka (membatalkan puasa Ramadhan) dengan jimak (setubuh) saja. Berkenaan dengan ini Ibnu Rusyd menulis:
فَإِنَّ مَالِكًا وَ أَصْحَابَهُ وَ أَبَا حَنِيْفَةَ وَ أَصْحَابَهُ وَ الثَّوْرِيُّ وَ جَمَاعَةٌ ذَهَبُوْا إِلَي أَنَّ مَنْ أَفْطَرَ مُتَعَمِّدًا بِأَكْلٍ أَوْ شُرْبٍ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ وَ الْكَفَّارَةَ الْمَذْكُوْرَةَ فِى هَذَا الْحَدِيْثِ. وَ ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ وَ أَحْمَدُ وَ أَهْلُ الظَّاهِرِ إِلَى أَنَّ الْكَفَّارَةَ إِنَّمَا فِى الْإِفْطَارِ مِنَ الْجِمَاعِ فَقَط.[7]

(Sesungguhnya Imam Malik bin Anas dan sahabat-sahabatnya, Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, ats-Tyauriy dan jamaah ulama berpendapat bahwa orang yang sengaja berbuka [membatalkan puasa] dengan makan atau minum wajib baginya menqadha dan membayar kifarat sebagaimana disebutkan dalam hadis.[8] Namun Imam Syafii, Imam Ahmad dan ulama ahli zahir berpendapat bahwa kewajiban membayar kifarat hanya bagi orang yang membatalkan puasanya dengan jimak [setubuh] saja).

Perbedaan pendapat dua golongan ulama tersebut karena sebagian menqiyaskan (analogikan) antara makan atau minum secara sengaja dengan setubuh secara sengaja sedangkan ulama yang lain tidak menganalogikannya. Yang menganalogikan berpendapat berlakunya hukum yang sama, yaitu wajib menqadha dan membayar kifarat atas orang yang membatalkan puasa Ramadhan dengan sengaja makan atau minum sebagaimana menqadha dan kifarat juga wajib atas orang yang sengaja bersetubuh pada siang Ramadhan. Sementara ulama yang tidak menganalogikan menyebutkan hukum yang berbeda, yaitu wajib menqadha saja atas orang yang membatalkan puasa Ramadhan dengan sengaja makan atau minum, tidak wajib membayar kifarat.

Kapan harus menqadha puasa Ramadahan?

Orang yang tidak berpuasa karena `udzur syar`iy (alasan yang dibenarkan oleh syariat) tidak wajib segera menqadha puasa. Diriwayatkan bahwa Aisyah r.a. menqadha puasa Ramadhan pada bulan Sya`ban padahal ia dapat menqadhanya lebih awal.” (HR. Ahmad dan Muslim). Boleh menqadha puasa Ramadhan dengan berturut-turut dan juga boleh secara terpisah-pisah. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda tentang menqadha Ramadhan: “,Jika ia mau boleh menqadha secara terpisah dan jika ia mau boleh berturut-turut.” (HR. Ad-Daruqutuni).  
Menurut Imam Syafii, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq, jika ditunda menqadha puasa Ramadhan hingga masuk bulan Ramadhan berikutnya tanpa `udzur yang dibenarkan syariat, maka wajib membayar fidyah sebagai tambahan wajib menqadha. Karena itu dikerjakan puasa Ramadhan yang baru tiba, kemudian wajib menqadha puasa Ramadhan yang lalu dan membayar fidyah 1 mud beras (0,75 kg) untuk seorang miskin setiap hari yang belum diqadha.[9] Qadha dan fidyah ini berlaku bagi orang yang sakit biasa yang sudah sembuh, orang musafir, perempuan menstruasi, perempuan nifas, dan orang yang berbuka pada siang Ramadhan tanpa `udzur syar`iy.[10] Dan berkenaan dengan ini Imam Syafii menulis:
فَإِنْ مَرَضَ أَوْ سَافَرَ الْمُفْطِرُ مِنْ رَمَضَانَ فَلَمْ يَصِحَّ وَ لَمْ يَقْدِرْ حَتَّى يَأْتِيَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ آخَرٌ قَضَاهُنَّ وَ لَا كَفَّارَةَ وَ إِنْ فَرَطَ وَ هُوَ يُمْكِنُهُ أَنْ يَصُوْمَ حَتَّى يَأْتِيَ رَمَضَانُ آخَرٌ صَامَ الرَّمَضَانَ الَّذِي جَاءَ عَلَيْهِ وَ قَضَاهُنَّ وَ كَفَّرَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ بِمُدِّ حَنْطَةٍ.[11]
(Jika orang yang berbuka pada sebagian hari Ramadhan sakit atau musafir, maka tidak sehat dan tidak kuat hingga tiba bulan Ramadhan yang lain, maka ia menqadha puasa yang tinggal [sesudah berlalu Ramadhan yang kedua] dan tidak ada kifarat [fidyah] baginya. Akan tetapi kalau tidak menqadha disebabkan lalai hingga tiba Ramadhan yang lain padahal mungkin baginya berpuasa, maka ia wajib berpuasa Ramadhan yang baru tiba, dan wajib menqadha [yang tertinggal pada Ramadhan yang lalu] dan juga dijatuhi kifarat [fidyah] membayar satu mud biji gandum pada setiap hari).  
Menurut Imam Abu Hanifah dan al-Hasan al-Bashri, orang sakit, musafir dan perempuan menstruasi dan nifas hanya wajib menqadha saja, tidak wajib fidyah walaupun belum menqadha karena lalai hingga masuk Ramadhan berikutnya. Bahkan Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah menegaskan bahwa tidak ada nash shahih yang mewajibkan fidyah karena penundaan menqadha puasa Ramadhan.[12]


  1. Fidyah


Allah SWT berfirman yang artinya: “,... Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin...”. (QS. al-Baqarah, 2:184). Ayat ini menjelaskan wajibnya membayar fidyah puasa atas orang-orang tertentu.
Fidyah adalah tebusan yang harus dibayarkan oleh orang-orang tertentu yang tidak mampu untuk menjalankan puasa Ramadhan. Tebusan dimaksud memberi makan  seorang miskin satu mud beras untuk setiap hari. Satu mud beras sama dengan satu cakupan dua telapak tangan atau sama dengan ¾ kg (0,75 kg).[13] Standar berasnya pertengahan yang dimakan oleh yang membayar fidyah.[14]
Jumhur ulama dalam menentukan kadar fidyah berdasarkan hadis riwayat Abu Hurairah r.a. ia berkata: Ketika kami duduk di samping Nabi SAW, datang seorang lelaki dan berkata: “,Celaka aku wahai Rasulullah”. Rasulullah SAW bertanya: “,Apakah yang membuatmu celaka? Jawabnya: “Aku telah menggauli isteriku padahal aku berpuasa (Ramadhan)”. Sabda Nabi SAW: “,Apakah engkau mendapat seorang hamba sahaya untuk engkau merdekakan? Jawabnya: “Tidak.” Sabda Nabi SAW: “,Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Jawabnya: “,Tidak”. Sabda Nabi SAW: “,Apakah engkau dapat memberi makan enam puluh orang miskin? Jawabnya: “,Tidak.” Kata Abu Hurairah: “Maka ia diam di samping Nabi SAW. Ketika kami dalam keadaan sedemikian diberikan kepada Nabi SAW satu keranjang berisi kurma.” Sabda Nabi SAW: Dimana orang yang bertanya (tadi)? Jawabnya: “Saya”. Sabda Nabi SAW: “Ambillah ini dan sedekahkan.” Lelaki tersebut bertanya: “,Apakah aku akan sedekahkan kepada orang yang lebih fakir dariku? Tidak ada keluarga yang lebih membutuhkan makanan ini daripada kami”. Kata Abu Hurairah r.a.: Maka Nabi SAW tertawa sehingga tampak gigi gerahamnya, kemudian Nabi SAW bersabda: “,Pergilah engkau, berikanlah ini untuk dimakan oleh keluargamu”.  (HR. Jamaah dan matannya menurut Imam al-Bukhari).
Keranjang yang dibawa Rasulullah SAW tersebut berisi 15 shah` kurma sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Abiy Hafshah dan riwayat Muammil dari Sufyan.[15] Satu sha` sama dengan empat mud sehingga jumlahnya 60 mud untuk mengganti kifarat jima` (puasa dua bulan berturut-turut) yang semestinya dilakukan oleh orang yang menggauli isterinya pada siang Ramadhan. Dan ini sama dengan 1 mud untuk setiap satu hari. Karena itu jumhur ulama berijtihad menyamakan kadar (jumlah) fidyah dengan kifarat, yaitu 1 mud biji gandum (makanan pokok seperti beras) untuk setiap hari.[16] Dan kadar 1 mud ini sesuai dengan beberapa riwayat seperti hadis riwayat Imam ad-Daruqutuni: تُطْعِمُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ (Engkau memberi makan enam puluh orang miskin, untuk setiap seorang miskin satu mud). Dan juga dalam hadis lain yang juga riwayat Imam ad-Daruqutuni disebutkan: فَأُتِيَ بِخَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا فَقَالَ أَطْعِمْهُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا (Maka dibawakan kepada Nabi SAW lima belas sha` kurma, dan Nabi SAW bersabda [kepada lelaki yang bertanya], berikanlah ini untuk dimakan oleh enam puluh orang miskin).[17]    
Golongan yang berat untuk berpuasa Ramadhan ialah:
1.    Orang yang sudah `udzur karena usia lanjut sehingga tidak kuat berpuasa. Orang yang sudah `udzur karena usia lanjut, baik lelaki maupun perempuan sehingga berat berpuasa tidak diwajibkan menqadha puasa akan tetapi diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi seorang miskin 1 mud beras untuk setiap hari Ramadhan.[18] Imam al-Bukhari meriwayatkan daripada `Atha’, bahwa ia mendengar Abudullah bin Abbas r.a. membaca ayat: وَ عَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدَْةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنَ dan mengatakan bahwa ayat ini tidak mansukh, akan tetapi ayat ini khusus bagi lelaki tua dan perempuan tua yang tidak kuat untuk berpuasa, maka masing-masing membayar fidyah memberi makan seorang miskin, yaitu memberinya 1 mud beras (0,75 kg) untuk setiap hari Ramadhan. Dan Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat ini juga termasuk orang-orang pekerja berat yang sepanjang tahun bekerja sehingga merasa berat untuk berpuasa. Berkenaan dengan ini Syekh Muhammad Abduh menulis sebagaimana dikutip oleh Sayid Sabiq dalam bukunya sebagai berikut:
فَالْمُرَادُ بِمَنْ (يُطِيْقُوْنَهُ) فِي الْآيَةِ, الشُّيُوْخُ الضُّعَفَاءُ وَ الزَّمْنَى وَ نَحْوُهُمْ كَالْفَعَلَةِ الَّذِيْنَ جَعَلَ اللهُ مَعَاشَهُمْ الدَّائِمَ بِالْأَشْغَالِ الشَاقَّةِ كَاسْتِخْرَاجِ الْفَحْمِ الْحَجْرِيِّ مِنْ مَنَاجِمِهِ. وَ مِنْهُمُ الْمُجْرِمُوْنَ الَّذِيْنَ يُحْكَمُ عَلَيْهِمْ بِالْأَشْغَالِ الشَّاقَّةِ الْمُؤَبَّدَةِ إِذَا شَقَّ الصِّيَامُ عَلَيْهِمْ بِالْفِعْلِ وَ كَانُوْا يَمْلِكُوْنَ الْفِدْيَةَ.[19]
 (Yang dimaksud dengan orang-orang yang berat untuk berpuasa pada ayat (184 surat al-Baqarah) tersebut di atas adalah orang tua yang sudah lemah (uzur) karena usia dan orang sakit menahun dan secara medis kecil harapan sembuhnya. Dan sama dengan dengan mereka orang-orang yang bekerja sangat berat untuk memenuhi kebutuhan asas mereka, seperti buruh kasar yang sepanjang hari harus mengeluarkan batu arang dari sumber pengambilannya dan orang-orang terpidana yang dihukum bekerja sangat berat tanpa beristirahat apabila secara permanent (tetap) berat bagi mereka berpuasa dan mereka dapat membayar fidyah).  
2.    Orang sakit parah. Orang sakit parah dan menahun yang secara medis tidak ada harapan sembuhnya dan berat untuk berpuasa juga seperti orang berusia lanjut, tidak wajib berpuasa akan tetapi wajib membayar fidyah.
3.    Perempuan hamil dan perempuan yang sedang menyusukan. Menurut Imam Syafii, sebelum menetapkan hukum yang berlaku atas perempuan hamil dan perempuan menyusukan perlu terlebih dahulu menilik penyebab beratnya berpuasa, yaitu apakah karena khawatir mudarat (berdampak buruk) atas dirinya saja atau karena khawatir mudarat atas diri anaknya saja atau karena khawatir mudarat atas dirinya dan anaknya sekaligus.

Perempuan hamil dan perempuan menyusukan yang khawatir puasa akan berdampak buruk atas dirinya dan anaknya (janinnya) sekaligus, menurut Imam Syafii dan Imam Hanbali, wajib berbuka dan wajib menqadha akan tetapi tidak wajib membayar fidyah. Menurut Imam Abu  Hanifah, perempuan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha ketika kuat untuk berpuasa, dan tidak wajib membayar fidyah. Menurut Imam Malik, perempuan golongan ini boleh berbuka dan wajib menqadha, dan tidak wajib membayar fidyah bagi perempuan hamil akan tetapi wajib fidyah bagi perempuan yang menyusukan. Sedangkan menurut Abdullah bin Umar r.a. dan Abdullah bin Abbas r.a. kewajiban atas perempuan hamil dan perempuan menyusukan yang berat untuk berpuasa hanya membayar fidyah saja, tidak wajib menqadha.[20] Kedua sahabat ini memandang sama hukum yang berlaku walaupun penyebab beratnya berpuasa berbeda-beda.
Perempuan hamil dan perempuan menyusukan yang khawatir mudarat atas dirinya saja dan tidak khawatir atas anaknya, menurut Imam Syafii wajib berbuka dan wajib menqadha akan tetapi tidak wajib membayar fidyah. Menurut Imam Abu  Hanifah, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha ketika kuat untuk berpuasa, dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Menurut Imam Malik, perempuan golongan ini boleh berbuka dan wajib menqadha dan tidak wajib membayar fidyah bagi perempuan hamil akan tetapi wajib fidyah bagi perempuan yang menyusukan. Dan kalau sangat khawatir adanya mudarat maka wajib berbuka bukan sekadar dibolehkan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha saja tidak wajib membayar fidyah.
Perempuan hamil dan perempuan menyusukan yang khawatir mudarat atas anaknya saja tidak khawatir atas dirinya, menurut Imam Syafii wajib berbuka dan wajib menqadha dan juga wajib membayar fidyah.[21] Menurut Imam Abu Hanifah, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha ketika kuat untuk berpuasa, dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Menurut Imam Malik bin Anas, perempuan golongan ini boleh berbuka dan wajib menqadha dan tidak wajib membayar fidyah bagi perempuan hamil akan tetapi wajib fidyah bagi perempuan yang menyusukan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka, dan wajib menqadha dan juga  wajib membayar fidyah.[22]  
Hukum yang berlaku atas orang-orang yang berat untuk berpuasa dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 1:
Golongan Yang Wajib Membayar Fidyah Puasa


Nomor

Golongan Yang Tidak Berpuasa
Hukum Qadha & Fidyah
Menurut  Imam Mazhab Fiqih Sunni Yang Empat

Pendapat Imam Syafii


Pendapat Ulama Lain
1
Orang sakit parah dan menahun yang secara medis tidak ada harapan sembuhnya.
Menurut Imam Syafii, golongan ini wajib berbuka dan tidak wajib menqadha akan tetapi wajib membayar fidyah 1 mud beras untuk seorang miskin setiap hari. 
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas, golongan ini wajib berbuka dan tidak wajib menqadha akan tetapi wajib membayar fidyah 1 mud beras untuk seorang miskin setiap hari. Menurut Imam Hanbali, golongan ini wajib membayar fidyah 1 mud beras untuk seorang miskin setiap hari. Kalau sudah dibayar fidyah maka tidak wajib menqadha walaupun sudah kuat untuk berpuasa. Kalau belum dibayar fidyah, kemudian ia sanggup berpuasa maka wajib baginya menqadha.
2
Orang yang sudah `udzur karena usia sehingga tidak kuat berpuasa.
Menurut Imam Syafii, golongan ini dibolehkan berbuka dan tidak wajib menqadha akan tetapi wajib membayar fidyah 1 mud beras untuk seorang miskin setiap hari. Pendapat Abu Hanifah sama dengan pendapat Syafii.  
Menurut Imam Malik bin Anas dibolehkan bagi golongan ini berbuka dan tidak wajib menqadha dan juga tidak wajib membayar fidyah akan tetapi disunatkan membayar fidyah 1 mud beras untuk seorang miskin setiap hari.   
3
Perempuan hamil dan perempuan yang menyusukan yang khawatir mudarat atas dirinya dan anaknya secara bersamaan.
Menurut Imam Syafii, perempuan golongan ini wajib berbuka, dan wajib menqadha akan tetapi tidak wajib membayar fidyah. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal sama dengan pendapat Syafii.
Menurut Abdullah bin Umar r.a. dan Abdullah bin Abbas r.a. wajib bagi kedua golongan perempuan ini membayar fidyah saja, tidak wajib menqadha.[23] Menurut Imam Abu  Hanifah, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha ketika kuat untuk berpuasa, dan tidak wajib membayar fidyah. Menurut Imam Malik, perempuan golongan ini boleh berbuka dan wajib menqadha, dan tidak wajib membayar fidyah bagi perempuan hamil akan tetapi wajib fidyah bagi perempuan yang menyusukan.
4
Perempuan hamil dan perempuan yang menyusukan yang khawatir mudarat atas dirinya saja dan tidak khawatir atas anaknya.
Menurut Imam Syafii, perempuan golongan ini wajib berbuka, dan wajib menqadha akan tetapi tidak wajib membayar fidyah.
Menurut Imam Abu  Hanifah, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha ketika kuat untuk berpuasa, dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Menurut Imam Malik, perempuan golongan ini boleh berbuka dan wajib menqadha, dan tidak wajib membayar fidyah bagi perempuan hamil akan tetapi wajib fidyah bagi perempuan yang menyusukan. Kalau sangat khawatir adanya mudarat maka wajib berbuka bukan sekadar dibolehkan.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha saja tidak wajib membayar fidyah.
5
Perempuan hamil dan perempuan yang menyusukan yang khawatir mudarat atas anaknya saja tidak khawatir atas dirinya.
Menurut Imam Syafii, perempuan golongan ini wajib berbuka, dan wajib menqadha dan juga wajib membayar fidyah.[24] Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal sama dengan pendapat Imam Syafii.
Menurut Imam Abu Hanifah, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha ketika kuat untuk berpuasa, dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Menurut Imam Malik bin Anas, perempuan golongan ini boleh berbuka dan wajib menqadha, dan tidak wajib membayar fidyah bagi perempuan hamil akan tetapi wajib fidyah bagi perempuan yang menyusukan.[25]

  1. Kifarat

Kifarat adalah sesuatu yang harus dilakukan atau dibayar oleh seseorang karena melakukan kesalahan tertentu. Misalnya kifarat puasa diwajibkan atas orang yang bersetubuh pada siang Ramadhan. Kifarat puasa berdasarkan hadis riwayat Abu Hurairah r.a.:
 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلَكْتُ, قَالَ: مَا لَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي وَ أَنَا صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تَعْتِقُهَا؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا. فَقَالَ: فَهَلْ تَجِدُ اِطْعَامَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَمَكُثَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ, فَبَيْنَمَا نَحْنُ عَلَى ذَالِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ – وَ الْعَرَقُ : المِكْتَلُ- قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ فَقَالَ: أَنَا. قَالَ: خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ! فَقَالَ الرَّجُلُ: أَ عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَوَ اللهِ[26] مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا – يُرِيْدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍِ أَفْقَرَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي. فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.[27]   
Artinya:
Daripada Abu Hurairah r.a., ia berkata: Ketika kami duduk di samping Nabi SAW, datang seorang lelaki dan berkata: “,Celaka aku wahai Rasulullah”. Rasulullah SAW bertanya: “,Apakah yang membuatmu celaka? Jawabnya: “Aku telah menggauli isteriku padahal aku berpuasa (Ramadhan)”. Sabda Nabi SAW: “,Apakah engkau mendapat seorang hamba sahaya untuk engkau merdekakan? Jawabnya: “Tidak.” Sabda Nabi SAW: “,Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Jawabnya: “,Tidak”. Sabda Nabi SAW: “,Apakah engkau dapat memberi makan enam puluh orang miskin? Jawabnya: “,Tidak.” Kata Abu Hurairah: “Maka ia diam di samping Nabi SAW. Ketika kami dalam keadaan sedemikian diberikan kepada Nabi SAW satu keranjang berisi kurma.” Sabda Nabi SAW: Dimana orang yang bertanya (tadi)? Jawabnya: “Saya”. Sabda Nabi SAW: “Ambillah ini dan sedekahkan.” Lelaki tersebut bertanya: “,Apakah aku akan sedekahkan kepada orang yang lebih fakir dariku wahai Rasulullah? Demi Allah (yang mengutusmu dengan benar), tidak ada di Madinah dan pemukiman di sekitar Madinah keluarga yang lebih fakir (miskin) dan membutuhkan makanan ini daripada keluargaku”.[28] Kata Abu Hurairah r.a.: Maka Nabi SAW tertawa sehingga tampak gigi geraham beliau, kemudian Nabi SAW bersabda: “,Pergilah engkau, berikanlah ini untuk dimakan oleh keluargamu”.  (HR. Jamaah dan matannya menurut Imam al-Bukhari, baca Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 1936 ).

Bersetubuh pada siang Ramadhan merupakan dosa besar bagi orang yang wajib berpuasa. Dan perbuatan ini mewajibkan qadha dan membayar kifarat.  Menurut jumhur ulama, lelaki dan dan perempuan sama-sama wajib membayar kifarat, tidak ada beda antara keduanya apabila terpenuhi syarat-syaratnya.
Menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal, membayar kifarat hanya diwajibkan bagi lelaki saja. Tidak ada kewajiban membayar kifarat atas perempuan, baik bersetubuh karena dipaksa maupun atas kehendaknya sendiri. Sebab kifarat merupakan kewajiban yang menyangkut dengan harta, dan ini hanya wajib atas lelaki sebagaimana wajib membayar mahar hanya bagi lelaki saja.[29] Dan dalam Sunnah, sebagaimana dapat dipahami dari hadis di atas kewajiban kifarat hanya dibebankan atas lelaki. Dan Imam Ahmad ditanya mengenai orang yang menggauli isterinya pada bulan Ramadhan, apakah wajib bagi isterinya kifarat? Ia jawab: “,Tidak ada kami dengar (Sunnah) yang menyatakan wajibnya kifarat atas perempuan.”[30]    
Kifarat puasa ada tiga macam, yaitu: (1) memerdekakan seorang hamba sahaya; (2) berpuasa dua bulan berturut-turut; dan (3) memberi makan enam puluh orang miskin.
Menurut jumhur ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hanbal dan ats-Tsauri, wajib membayar kifarat secara tertib yakni, berupaya pertama kali memerdekakan seorang hamba sahaya. Kalau tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu juga maka memberi makan enam puluh orang miskin. Tidak dibenarkan langsung memberi makan enam puluh orang miskin sebelum mencoba untuk berpuasa dua bulan berturut-turut.[31] Namun menurut Imam Malik bin Anas, dibolehkan memilih salah satu dari tiga kifarat tersebut, dan yang lebih afdhal menurut mazhab ini adalah memberi makan enam puluh orang miskin.[32]
Menurut Imam Syafii dan Imam Malik bin Anas kifarat wajib dibayar berulang kali karena dilakukan berulang kali yang mewajibkan kifarat. Misalnya, kalau seseorang bersetubuh pada siang hari tanggal 10 dan 15 Ramadhan, maka ia wajib membayar dua kali kifarat, yaitu memberi makan 120 orang miskin kalau ia tidak mampu memerdekakan hamba sahaya dan berpuasa dua bulan berturut-turut. Namun menurut Imam Abu Hanifah hanya wajib satu kali kifarat walaupun berulang kali melakukan hal yang mewajibkan kifarat dan meskipun dalam hari-hari yang berbeda. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, kalau melakukan perbuatan yang mewajibkan kifarat sesudah dibayar kifarat yang pertama, maka wajib lagi membayar kifarat yang kedua. Namun kalau belum dibayar kifarat yang pertama, kemudian ada lagi kifarat kedua karena menggauli isteri lagi pada siang Ramadhan di hari yang lain, maka cukup membayar satu kifarat untuk beberapa kifarat.[33] 
Menurut Imam Syafii, diwajibkan bagi orang yang bersetubuh pada siang Ramadhan menqadha puasa dan membayar kifarat dengan syarat: (1) berniat puasa. Kalau ia tidak berniat puasa pada waktu malam, maka tidak sah puasanya akan tetapi wajib baginya imsak (menahan diri dari segala yang membatalkan puasa). Apabila ia mendatangi isterinya dalam keadaan ini pada siang hari, tidak wajib baginya kifarat karena pada hakikatnya ia bukan sedang berpuasa; (2) melakukan setubuh dengan sengaja. Kalau ia lakukan karena lupa maka tidak batal puasanya, dan tidak wajib baginya menqadha dan juga tidak kifarat; (3) dilakukan atas keinginan sendiri, kalau dipaksa melakukan setubuh maka tidak batal puasana; (4) mengetahui haramnya perbuatan ini. Kalau ia lakukan ketika baru saja masuk Islam atau ia berkembang di tempat yang jauh dari ulama dan ia melakukan setubuh dalam keadaan ini maka juga tidak batal puasanya; (5) melakukan setubuh puasa puasa tunai hari Ramadhan. Kalau dilakukan pada hari berpuasa sunat atau nazar atau qadha atau puasa kifarat, maka tidak wajib baginya kifarat walaupun disengaja melakukannya; (6) bahwa bersetubuh itu sendiri langsung yang membatalkan puasanya tidak ada hal lain yang membatalkannya. Kalau ia juga makan pada waktu melakukan setubuh itu maka tidak wajib baginya kifarat akan tetapi wajib baginya menqadha saja; (7) bahwa ia berdosa disebabkan bersetubuh ini karena karena tergolong mukalaf yang berakal. Kalau anak-anak melakukannya meskipun sedang berpuasa, maka tidak wajib kifarat baginya. Demikian pula orang sedang musafir yang berpuasa, kemudian pada tengah hari ia membatalkan puasa dengan bersetubuh, maka tidak wajib baginya kifarat karena rukhshah perjalanan; (8) yakin masih sah puasanya. Kalau ia makan karena lupa namun dikiranya sudah batal puasanya, kemudian ia bersetubuh secara sengaja sesudah itu, maka tidak wajib kifarat baginya meskipun batal puasanya dan ia wajib menqadha; (9) bahwa ia tidak gila sesudah bersetubuh sebelum terbenam matahari. Kalau ia gila maka tidak wajib kifarat baginya; (10) bahwa ia tidak berinisiatif melakukan setubuh dengan sendirinya. Kalau seandainya ia tidur dan dinaiki oleh isterinya dan ia menyetubuhinya dalam keadaan ini, maka tidak wajib baginya kifarat kecuali ia sengaja memperdaya isterinya agar melakukannya; (11) tidak karena tersalah. Kalau ia bersetubuh karena mengira masih malam atau sudah masuk waktu maghrib, kemudian nyata baginya bahwa ia bersetubuh pada waktu siang, maka tidak ada kifarat baginya meskipun wajib menqadha dan imsak; (12) bersetubuh itu sampai memasukkan hasyfah atau sekar hasyfah bagi yang terpotong zakar (kemaluan)-nya dan seumpamanya. Kalau belum ia masukkan sekadar hasyfah atau ia masukkan sebagian hasyfah saja maka tidak batal puasanya. Dan apabila ia keluar mani dalam keadaan seperti ini, maka ia hanya wajib menqadha saja. Akan tetapi wajib baginya imsak, jika ia tidak menahan pada waktu sisa siang hari itu, maka ia berdosa; (13) bahwa ia bersetubuh pada faraj, baik dubur maupun qubul walaupun tidak keluar mani. Kalau ia menyetubuhi selain yang disebutkan, maka tidak wajib baginya kifarat; (14) bahwa ia sebagai pelaku jimak bukan objek. Kalau ia menyetubuhi seorang perempuan atau selainnya, maka kifarat wajib bagi pelaku (fa`il) bukan pada objek (maf`ul bih/penderita). Kalau terbit fajar ketika ia sedang menyetubuhi isterinya, kalau langsung ia keluarkan seketika itu juga maka puasanya sah. Kalau masih ia teruskan walaupun sekejap sesudah itu, maka wajib baginya menqadha dan kifarat jika ia mengetahui waktu terbit fajar. Kalau tidak ia ketahui terbitnya fajar ketika itu, maka wajib baginya menqadha namun tidak wajib kifarat.

Tabel: 2
Syarat Wajib Kifarat Puasa

Syarat Wajib Kifarat
Menurut Imam asy-Syafii
Menurut Ulama lainnya
Menurut Imam Syafii, orang yang bersetubuh pada siang Ramadhan sedangkan ia wajib berpuasa menurut syara` pada hari itu berarti telah melakukan dosa yang sangat besar. Dan diwajibkan baginya menqadha dan membayar kifarat dengan syarat: (1) berniat puasa. Kalau ia tidak berniat puasa pada waktu malam, maka tidak sah puasanya akan tetapi wajib baginya imsak (menahan diri dari segala yang membatalkan puasa). Apabila ia mendatangi isterinya dalam keadaan ini pada siang hari, tidak wajib baginya kifarat karena pada hakikatnya ia bukan sedang berpuasa; (2) melakukan setubuh dengan sengaja. Kalau ia lakukan karena lupa maka tidak batal puasanya, dan tidak wajib baginya menqadha dan juga tidak kifarat; (3) dilakukan atas keinginan sendiri, kalau dipaksa melakukan setubuh maka tidak batal puasana; (4) mengetahui haramnya perbuatan ini. Kalau ia lakukan ketika baru saja masuk Islam atau ia berkembang di tempat yang jauh dari ulama dan ia melakukan setubuh dalam keadaan ini maka juga tidak batal puasanya; (5) melakukan setubuh puasa puasa tunai hari Ramadhan. Kalau dilakukan pada hari berpuasa sunat atau nazar atau qadha atau puasa kifarat, maka tidak wajib baginya kifarat walaupun disengaja melakukannya; (6) bahwa bersetubuh itu sendiri langsung yang membatalkan puasanya tidak ada hal lain yang membatalkannya. Kalau ia juga makan pada waktu melakukan setubuh itu maka tidak wajib baginya kifarat akan tetapi wajib baginya menqadha saja; (7) bahwa ia berdosa disebabkan bersetubuh ini karena karena tergolong mukalaf yang berakal. Kalau anak-anak melakukannya meskipun sedang berpuasa, maka tidak wajib kifarat baginya. Demikian pula orang sedang musafir yang berpuasa, kemudian pada tengah hari ia membatalkan puasa dengan bersetubuh, maka tidak wajib baginya kifarat karena rukhshah perjalanan; (8) yakin masih sah puasanya. Kalau ia makan karena lupa namun dikiranya sudah batal puasanya, kemudian ia bersetubuh secara sengaja sesudah itu, maka tidak wajib kifarat baginya meskipun batal puasanya dan ia wajib menqadha; (9) bahwa ia tidak gila sesudah bersetubuh sebelum terbenam matahari. Kalau ia gila maka tidak wajib kifarat baginya; (10) bahwa ia tidak berinisiatif melakukan setubuh dengan sendirinya. Kalau seandainya ia tidur dan dinaiki oleh isterinya dan ia menyetubuhinya dalam keadaan ini, maka tidak wajib baginya kifarat kecuali ia sengaja memperdaya isterinya agar melakukannya; (11) tidak karena tersalah. Kalau ia bersetubuh karena mengira masih malam atau sudah masuk waktu maghrib, kemudian nyata baginya bahwa ia bersetubuh pada waktu siang, maka tidak ada kifarat baginya meskipun wajib menqadha dan imsak; (12) bersetubuh itu sampai memasukkan hasyfah atau sekar hasyfah bagi yang terpotong zakar (kemaluan)-nya dan seumpamanya. Kalau belum ia masukkan sekadar hasyfah atau ia masukkan sebagian hasyfah saja maka tidak batal puasanya. Dan apabila ia keluar mani dalam keadaan seperti ini, maka ia hanya wajib menqadha saja. Akan tetapi wajib baginya imsak, jika ia tidak menahan pada waktu sisa siang hari itu, maka ia berdosa; (13) bahwa ia bersetubuh pada faraj, baik dubur maupun qubul walaupun tidak keluar mani. Kalau ia menyetubuhi selain yang disebutkan, maka tidak wajib baginya kifarat; (14) bahwa ia sebagai pelaku jimak bukan objek. Kalau ia menyetubuhi seorang perempuan atau selainnya, maka kifarat wajib bagi pelaku (fa`il) bukan pada objek (maf`ul bih/penderita). Kalau terbit fajar ketika ia sedang menyetubuhi isterinya, kalau langsung ia keluarkan seketika itu juga maka puasanya sah. Kalau masih ia teruskan walaupun sekejap sesudah itu, maka wajib baginya menqadha dan kifarat jika ia mengetahui waktu terbit fajar. Kalau tidak ia ketahui terbitnya fajar ketika itu, maka wajib baginya menqadha namun tidak wajib kifarat. 
Menurut mazhab Hanafi, ada dua hal yang mewajibkan menqadha dan kifarat, yaitu: pertama, menkonsumsi makanan atau semaknanya tanpa `udzur syar`iy (alasan yang dibenarkan syariat) seperti makan, minum dan seumpamanya yang dengannya dipenuhi kebutuhan perut; dan kedua, memenuhi secara sempurna kebutuhan faraj. Dan wajib membayar kifarat bagi orang  makan atau bersetubuh dengan syarat: (1) orang yang berpuasa seorang mukalaf, berniat pada malam hari untuk puasa Ramadhan. Kalau tidak berniat malam hari, tidak wajib kifarat. Demikian juga kalau berniat untuk menqadha puasa Ramadhan yang tertinggal juga tidak wajib kifarat. Dan kalau dilakukan pada waktu puasa yang bukan Ramadhan juga tidak wajib kifarat; (2) tidak ada padanya hal yang membolehkan berbuka yaitu musafir dan sakit. Karena boleh baginya berbuka sesudah sakitnya. Namun kalau berbuka sebelum musafir, maka wajib membayar kifarat; (3) berbuat atas keinginan dan sukarela bukan karena dipaksa; (4) bersengaja melakukannya. Kalau berbuka karena lupa atau tersalah maka gugur darinya kifarat. Setubuh dilakukan dengan sengaja pada qubul atau dubur dan wajib kifarat baik bagi pelaku (fa`il) maupun yang menjadi objek (maf`ul bih) dan disyaratkan maf`ul bih-nya manusia, hidup dan berkeinginan melakukannya. Wajib kifarat walaupun hanya sekadar bertemunya dua kemaluan meskipun tidak ejakulasi. Kalau sesama perempuan bersenang-senang, maka wajib baginya menqadha tidak wajib kifarat. Menyetubuhi binatang , mayyit dan anak-anak yang tidak bersyahwat tidak mewajibkan kifarat akan tetapi mewajibkan qadha karena ejakulasi.
     


DAFTAR BACAAN

1.        Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah [Beirut: Darul Fkri, 1417H.-1996M.].
2.        Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir terjemahan Lubaab al-Tafsiir min Ibn Katsiir Penerjemah M. Abdul Ghoffar E.M. [Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafii, 2008].
3.        Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Ta`liiq al-Albani. Sunan Ibn Maajah [Riyad: Maktabah al-Ma`arif].
4.        Abu Abdil Mu`thi Muhammad Nawawi al-Jawi, Kaasyifat al-Sajaa fiy Syarh Safiinat al-Najaa. [Semarang: Pustaka `Alawiyah. T.th.].
5.        Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Jaib al-Bashri al-Mawardiy, Adab al-Dunyaa wa al-Diin, tahq. Mushthafa al-Saqa, (t.tp.: Darul Fikri, t.th.).
6.        Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Jaib al-Bashri al-Mawardiy, Jalan meraih kebahagiaan Dunia & Akhirat (terjemahan Adab al-Dunyaa wa al-Diin), tahq. Mushthafa al-Saqa, (t.tp.: Darul Fikri, t.th.).
7.        Abu Bakar ibn Syatha, I`aanat al-Thaalibin `Alaa Hilli ‘alfaazh Fath al-Mu`iin [Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.th.].
8.        Abu Bakar Muhammad bin Khuzaimah an-naisaburi, Tahqiq Muhammad Mushthafa al-A`zhami. Shahih Ibnu Khuzaimah. Terjemahan M. Faishol dan Thohirin Suparta. [Jakarta: Pustaka Azzam].
9.        Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihyaa `Uluum al-Diin (Semarang: Thaha Putra, t.th.).
10.     Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Majmuu`ah Rasaa’il al-Imaam al-Ghazaaliy Sittah wa `Isyruun Risaalah min Rasaa’il al-Imaam al-Ghazaaliy, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, J.1-7., 1994).
11.     Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, RINDU TANPA AKHIR Metode Mendidik Jiwa Agar Cinta, Rida, dan Damai Bersama Allah, Terj. al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridhaa, Penerj. Asy`ari Khatib, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007).
12.     Abu Zahwa, Tafsir Surah al-Faatihah menurut 10 Ulama Besar Dunia [Jakarta: Pustaka Azzam].
13.     Ahmad bin Muhammad `Ajibah al-Hasani, Syarh Iiqaazh al-Himam fiy Syarh al-Hikam li Ibn `Athaa’ al-Sakandariy, (t.tp., Darul Fikri, t.th.).
14.     Ahmad bin Muhammad bin `Ajibah al-Hasani, Syarh Al-Futuuhaat al-Ilaahiiyah fii Syarh al-Mabaahits al-Ashliyyah li Ibn al-Banaa al-Sarqusthiy, Takh. Syaikh Abdul warits Muhammad Ali, (Beirut: Darul kutub Ilmiah, 2000).
15.     Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisiy, Al-Imaam al-Syaafi`iy fii Madzhabaihi al-Qadiim wa al-Jadiid, (t.tp.: t.pn., cet.II, 1994).
16.     Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bukhaariy [Beirut: Darul Fikri, 1420H.-2000].
17.     Al-Harits bin Asad al-Muhasibi, Memelihara Hak-Hak Allah (Bandung: Pustaka Hidayah, 2006).
18.     Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafii, Musnad al-Imam asy-Syaafi`iy. Terjemahan Edy Fr dan Rahmatullah. [Jakarta: Pustaka Azzam, 2008M.].
19.     Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-‘Umm [Beirut: Darul Fikri, 1410H-1990M.].
20.     Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i, Al-Risaalah, Tahq. Ahmad Muhammad Syakir, (t.tp.: Darul Fikri, t.th.).
21.     Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i, Ar-Risalah, Terj. al-Risaalah, Penerj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet.III, 1993).
22.     Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu`aib bin `Ali an-Nasai. Sunan al-Nasaa’iy , Ta`liq al-Albani. [Riyad: Maktabah al-Ma`arif, 1417H.].
23.     Imam Abu `Isa Muhammad bin Surah at-Tirmidzi. Sunan al-Tirmidziy. Tahqiq & Takhrij Ahmad Zahwah dan Ahmad `Inayah [Beirut: Darul Kitab al-`Arabi].
24.     Imam Abu Zakariya an-Nawawi, al-Azdkaar al-Nawawiyyah (terjemahan), [Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000].
25.     Imam Abu Zakariya an-Nawawi, al-Majmuu` bi Syarh al-Muhadzdzab. [t.tp.: Darul Fikri, t.th.].
26.     Baca Imam Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi, Syarh Shahiih Muslim (terjemahan). (Jakarta: Darus Sunnah, 2010).
27.     Imam Abu Zakariya an-Nawawi, Raudhatuth Thalibin. Terjemahan Muhyiddin Mas Rida & Abdurrahman Siregar [Jakarta: Pustaka Azzam].
28.     Imam al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jaami` li Ahkaam al-Qur’aan [Multaqaa Ahl al-hadiits, www.ahlalhdeeth.com].
29.     Imam al-Hafizh Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy`ab bin Ishaq al-Azdi as-Sajastani, Sunan Abiy Daawuud [Riyad: Darus Salam, 1420H.-1999M.].
30.     Imam al-Hafizh `Imaduddin Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir ad-Dimisqi, Tafsiir al-Qur’aan al-`Azhiim [Multaqaa Ahl al-hadiits, www.ahlalhdeeth.com].
31.     Imam al-Hafizh Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi, Shahiih Muslim. Takhrij dan tahqiq Syaikh Khalil Ma’mun Syaiha [Darul Fikri, Beirut, 1426H.-2005M.].
32.     Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti asy-Syafi`iy, Tanwiir al-Hawaalik Syarh `alaa Muwaththa’ Malik [t.tp.: Darul Fikri, t.th.].
33.     Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas`ud terjemahan Ali Murtadho Syahudi [Jakarta: Pustaka Azzam].
34.     Muhammad Ali ash-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir [Beirut: Darul Qalam, t.th.].
35.     Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawaa’i` al-Bayaan Tafsiir Aayaat al-Ahkam min al-Qur’aan, [Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.th.].
36.     Sayyid Mahdi as Sadr, Mengobati Penyakit Hati Meningkatkan Kualitas Diri, (Jakarta: Pustaka Zahra, cet.II, 2003.
37.     Syaikh Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali ibn Yusuf asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imaam al-Syaafi`iy [t.tp.: Darul Fikri, t.th.].
38.     Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Kayfa Nata`aamal Ma`al Qur’aan, (Verginia, al-Ma`had al-`Aalamiy lil fikril Islaamiy, 1992).
39.     Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Koreksi Pemahaman Islam, Terj. Musykilat Fii al-Thariiq al-Hayyaat al-Islaamiyyah, Penerj. Abdul Rosyad Dhiddiq, (Solo: Pustaka Mantiq, cet.III 1994).
40.     Syaikh Muhammad Al-Ghazali, BERDIALOG dengan AL-QUR’AN Memahami Pesan Kitab Suci dalam Kehidupan Masa Kini, Terj. Kayfa Nata`aamal Ma`al Qur’an, Penerj. Masykur Hakim & Ubaidillah, (Bandung: Mizan, cet.II 1996).
41. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy wa Adillatuh [Damasqus, Darul Fikri, 1989].


[1] Drs. H. Imran Effendy Hasibuan, MA adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Bukit Bestari Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau dan juga Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul `Ulum (STAI-MU) Tanjungpinang dan STAI Sultan Abdurrahman Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau.
[2] Baca Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah, Beirut, Darul Fikri, j.1, hlm.546.
[3] Keterangan tentang menqashar qashar shalat dapat dibaca dalam buku kami “Musafir Bersama Rasulullah SAW” atau dapat diakses melalui internet pada Blogger kami dengan mengetik pada Google: MUI BUKIT BESTARI KOTA TANJUNGPINANG.
[4] Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.374.
[5] Hadis ini dikutip oleh Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.375.
[6] Baca Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad ibnu Rusyd, Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid, j.1, hlm.216.
[7] Baca Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad ibnu Rusyd, Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid, j.1, hlm.216.
[8] Kifarat yang disebutkan dalam hadis riwayat jamaah adalah memerdekakan seorang hamba sahaya, kalau tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
[9] Baca Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-‘Umm, j.2, hlm.113-114.
[10] Baca Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah, j.1, hlm.546.
[11] Baca Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-‘Umm, j.2, hlm.113.
[12] Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.397.
[13] Demikian menurut Imam Muhammad bin Idris asy-Syafii dan Imam Malik bin Anas Rahimahumallah. Namun Imam Ahmad bin Hanbal membedakan antara gandum dengan bahan makanan lainnya, yaitu kalau gandum wajib dibayarkan 1 mud gandum saja sedangkan kalau selain gandum seperti beras, maka jumlahnya ½ sha` yaitu 2 mud beras.
[14] Kalau biasanya yang membayar fidyah menkonsumsi beras harga sekitar 9.000.- 11.000.- per kilogram, maka fidyah yang dibayarkannya yang seharga 10.000 per kg.
[15] Dalam hadis riwayat Abu Hafshah disebutkan: فِيْهِ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا (di dalam keranjang itu ada lima belas sha` kurma). Baca al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bukhaariy, j.4, hlm.676.
[16] Baca Imam Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi, Syarh Shahiih Muslim (terjemahan), Darus Sunnah, Jakarta, j.5, hlm.608.
[17] Baca Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bakhaariy, j.4, hlm.676.
[18] Ulama sepakat bahwa orang yang `udzur karena usia lanjut yang berat untuk berpuasa hanya diwajibkan membayar fidyah saja, tidak diwajibkan menqadha. Perbedaan hanya tentang kadar fidyah yang harus dibayar. Menurut jumhur ulama kadarnya 1 mud (0,75 kg), baik gandum maupun bahan makanan pokok lainnya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, kalau gandum hanya 1 mud akan tetapi kalau selain gandum, seperti beras, kadarnya harus 2 mud (1,50 kg) beras.
[19] Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.371-372.
[20] Abu Dawud meriwayatkan daripada `Ikrimah bahwasanya Ibnu Abbas r.a. mengatakan tentang maksud firman Allah SWT:  وَ عَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ bahwa lelaki usia lanjut dan peremuan usia lanjut yang berat untuk berpuasa diberi rukhshah untuk berbuka dan diwajibkan membayar fidyah (memberi makan seorang miskin setiap hari). Perempuan hamil dan perempuan yang menyusukan apabila khawatir mudarat atas anaknya juga diberi rukhshah untuk berbukan dan wajib membayar fidyah (memberi makan seorang miskin setiap hari). HR. Al-Bazzar. Dan Ibnu Abbas r.a. berkata kepada Ummu walad yang hamil: “,Engkau termasuk yang tidak mampu berpuasa, maka kewajibanmu hanya membayar fidyah, tidak wajib bagimu menqadha.” Isnad riwayat ini dishahihkan oleh ad-Daruqutun. Dan Nafi` meriwayatkan bahwa Ibnu Umar ditanya tentang perempuan yang hamil apabila khawatir mudarat atas anaknya, ia menjawab: “,Ia berbuka dan memberi makan setiap hari satu mud gandum untuk seorang miskin”. HR. Malik dan al-Baihaqi. Baca sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.371-372. 
[21] Baca asy-Syafii, al-‘Umm [2] hlm.113.
[22] Baca Ibnu Rusyd, Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid, j.1, hlm.219-220; dan Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.371-372.
[23] Abu Dawud meriwayatkan daripada `Ikrimah bahwasanya Ibnu Abbas r.a. mengatakan tentang maksud firman Allah SWT:  وَ عَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ bahwa lelaki usia lanjut dan peremuan usia lanjut yang berat untuk berpuasa diberi rukhshah untuk berbuka dan diwajibkan membayar fidyah (memberi makan seorang miskin setiap hari). Perempuan hamil dan perempuan yang menyusukan apabila khawatir mudarat atas anaknya juga diberi rukhshah untuk berbukan dan wajib membayar fidyah (memberi makan seorang miskin setiap hari). HR. Al-Bazzar. Dan Ibnu Abbas r.a. berkata kepada Ummu walad yang hamil: “,Engkau termasuk yang tidak mampu berpuasa, maka kewajibanmu hanya membayar fidyah, tidak wajib bagimu menqadha.” Isnad riwayat ini dishahihkan oleh ad-Daruqutun. Dan Nafi` meriwayatkan bahwa Ibnu Umar ditanya tentang perempuan yang hamil apabila khawatir mudarat atas anaknya, ia menjawab: “,Ia berbuka dan memberi makan setiap hari satu mud gandum untuk seorang miskin”. HR. Malik dan al-Baihaqi. Baca sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.371-372. 
[24] Baca asy-Syafii, al-‘Umm [2] hlm.113.
[25] Baca Ibnu Rusyd al-Hafid, Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid, j.1, hlm.219-220.
[26] Dalam riwayat Sufyan bin `Uyainah dan Ma`mar, sesudah kalimat “Wallahi” adalah kalimat:  الَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ (Yang mengutusmu dengan benar). tidak terdapat dalam riwayat ini akan tetapi terdapat dalam riwayat Ibnu `Uyainah dan Ma`mar. Baca Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bukhaariy, j.4, hlm.678.
[27] HR. Jamaah dan matannya menurut al-Bukhari (nomor 1936). Baca Shahiih al-Bukhariy dalam kitab Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bukhaariy karya tulis al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar al-`Asqallani, j.4, hlm.668-669. 
[28] Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah daripada jalur Aisyah r.a. bahwa keluarga lelaki ini selalu tidak makan malam karena memang tidak yang untuk dimakan. Baca Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy, j.4, hlm.668.
[29] Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.395.
[30] Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.395.
[31] Jumhur ulama beralasan dengan hadis riwayat jamaah di atas, dimana Rasulullah SAW pertama kali bertanya apakah lelaki tersebut dapat memerdekakan seorang hamba sahaya; kemudian sesudah dijawab tidak mampu maka Nabi SAW menawarkan untuk berpuasa dua bulan berturut-turut; kemudian sesudah dijawab tidak mampu maka Nabi SAW menawarkan urutan kifarat ketiga yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.
[32] Baca Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah, j.1, hlm.547.
[33] Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah, j.1, hlm.549-550.

1 comment:

  1. ustadz? kalo tentang qadha' nifas menurut madzhab-madzhab itu sumbernya dari buku apa yah?

    ReplyDelete