oleh: H. Imran Effendy Hasibuan, MA.
- Doa Musafir
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Ada tiga doa yang mustajab (diperkenankan), yaitu doa orang yang teraniaya, doa orang yang sedang musafir, dan doa orang tua untuk anaknya”. (HR. At-Tirmidzi).
Doa dan zikir yang dibaca dalam musafir mulai berangkat hingga kembali adalah sebagai berikut:
1. Shalat sunat dua rakaat sebelum berangkat. Baca surat al-Kaafiruun sesudah membaca al-Faatihah pada rakaat pertama dan surat al-Ikhlaash pada rakaat kedua. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidak ada yang ditinggalkan oleh seorang hamba untuk keluarganya yang lebih utama daripada dua rakaat yang ia dirikan di dekat mereka ketika ia akan musafir.” Dan dari Anas r.a., ia berkata, “Nabi Muhammad SAW tidak turun dari rumah kecuali sesudah menitipkannya kepada Allah dengan shalat dua rakaat.” (HR. Al-Hakim dan menurutnya sahih atas syarat al-Bukhari). Sesudah salam disunatkan membaca ayat kursi (ayat 255 surat al-Baqarah) dan surat al-Quraisy. Kemudian berdoalah dengan hadir hati dan ikhlas untuk kebaikanmu, kedua ibu-bapak, keluarga dan seluruh kaum muslimin-muslimat di dunia dan di akhirat.
Apabila Anda telah berdiri, bacalah doa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a.:
Apabila Anda telah berdiri, bacalah doa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a.:
اَللَّهُمَّ إِلَيْكَ تَوَجَّهْتُ وَ بِكَ اعْتَصَمْتُ. اَللَّهُمَّ اكْفِنِى مَا هَمَّنِى وَ مَا لاَ أَهْتَمُّ لَهُ. اَللَّهُمَّ زَوِّدْنِى التَّقْوَى وَ اغْفِرْلِى ذَنْبِى.
Artinya:
Ya Allah, hanya kepada-Mu aku menghadapkan diriku dan hanya dengan-Mu aku berserah diri. Ya Allah, cukupkan bagiku apa-apa yang menjadi perhatianku dan apa-apa yang tidak aku perhatikan. Ya Allah, bekalilah aku dengan takwa dan ampunilah dosa-dosaku.
2. Ketika berdiri di depan pintu berniat musafir untuk mencari ridho Allah SWT dan sebelum melangkah baca:
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ وَ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ.
Artinya:
Dengan nama Allah, aku berserah diri kepada Allah, dan tiada daya dan tiada kekuatan kecuali bersama Allah. Ya Allah, aku berlindung dengan-Mu dari sesat atau disesatkan, dari keliru atau dijadikan keliru, dari menzalimi atau dizalimi, dari bodoh atau dibodoh-bodohi.
Doa ini berdasarkan Sunnah Nabi SAW yang berasal dari Ummu Salamah dan Anas bin Malik r.a. dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasai.
3. Doa menaiki kenderaan. Ketika meletakkan kaki di atas kenderaan bacalah tiga kali بِسْمِ اللهِ (dengan nama Allah). Sesudah duduk di atas kenderaan baca:
اَلْحَمْدُ ِللهِ. سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَ مَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ. اَلْحَمْدُ ِللهِ اَلْحَمْدُ ِللهِ اَلْحَمْدُ ِللهِ ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. سُبْحَانَكَ إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْلِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.
Artinya:
Segala puji bagi Allah. Mahasuci Allah yang telah menundukkan ini bagi kami padahal kami tiada dapat mengendalikannya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Segala puji bagi Allah, segala puji bagi Allah, segala puji bagi Allah, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Mahasuci Engkau ya Allah, sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku karena sesungguhnya tiada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau”.
Keutamaan doa ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Rabi`ah r.a. ia berkata, “Aku saksikan Ali bin Abu Thalib r.a. diberi seekor hewan tunggangannya. Ketika meletakkan kakinya di pelana, ia membaca: بِسْمِ اللهِ tiga kali. Sesudah duduk tenang di atas punggung tunggangannya ia membaca:
اَلْحَمْدُ ِللهِ. سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَ مَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ. اَلْحَمْدُ ِللهِ اَلْحَمْدُ ِللهِ اَلْحَمْدُ ِللهِ ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. سُبْحَانَكَ إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْلِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.
Kemudian ia tertawa. Aku tanyakan, “Apa sebabnya engkau tertawa wahai Amirul Mukminin? Jawab Ali, “Saya melihat Rasulullah SAW melakukan seperti apa yang telah aku lakukan, kemudian beliau tertawa. Maka aku tanyakan, “Apa sebabnya engkau tertawa wahai Rasulullah? Jawab beliau, “Sesungguhnya Tuhan-mu membanggakan hamba-Nya apabila ia membaca:
رَبِّ اغْفِرْلِي ذُنُوْبِي إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.
Artinya:
Tuhan-ku, berilah ampunan bagiku atas dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. (HR. at-Tirmidzi, baca Sunan al-Tirmidziy, hadis nomor 3446).
4. Doa lain menaiki kenderaan. Anda juga dapat membaca doa Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar. Ali al-Azdiyyi berkata bahwa ia diberitahu oleh Ibnu Umar r.a. “Apabila Nabi SAW telah duduk di atas untanya untuk musafir, beliau membaca: اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ (bertakbir tiga kali), kemudian beliau membaca:
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَ مَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ.[1] اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَ التَّقْوَى وَ مِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى. اَللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا. اَللَّهُمَّ اطْوِ لَنَا الْبُعْدَ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَ الْخَلِيْفَةُ فِي الْأَهْلِ وَ الْمَالِ.
Artinya:
Mahasuci Allah yang telah menundukkan ini bagi kami padahal kami tiada dapat mengendalikannya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dalam perjalanan kami ini kebajikan dan taqwa dan amal yang Engkau ridhai. Ya Allah, mudahkanlah bagi kami perjalanan kami ini. Ya Allah, dekatkanlah bagi kami jaraknya yang jauh. Ya Allah, Engkau sahabat dalam perjalanan, dan wakil menjaga keluarga dan harta.”.
Apabila hendak kembali, Nabi SAW juga membaca kalimat di atas dan membaca:
آيِبُوْنَ إِنْ شَاءَ اللهُ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ.
Artinya:
Pulang, insya Allah kami bertaubat, beribadah lagi memuji Tuhan kami.
Kedua doa musafir ini boleh digabungkan. Setelah membaca doa riwayat Ali bin Abu Thalib, baca juga doa riwayat Ibnu Umar r.a. mulai dari kalimat,
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَ التَّقْوَى وَ مِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى. اَللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا. اَللَّهُمَّ اطْوِ لَنَا الْبُعْدَ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَ الْخَلِيْفَةُ فِي الأَهْلِ وَ الْمَالِ.
5. Ketika melalui jalan mendaki perbanyaklah bertakbir secara pelan membaca, اَللهُ أَكْبَرُ atau berzikir dalam hati dengan kalimat tersebut sebanyak mungkin.
6. Ketika melalui jalan menurun perbanyaklah bertasbih secara pelan membaca, سُبْحَانَ اللهِ atau berzikir dalam hati dengan kalimat tersebut sebanyak mungkin.
7. Ketika mendapat nikmat ucapkan:
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Artinya:
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
8. Ketika ditimpa musibah, baik musibah besar maupun kecil bacalah:
إِنَّا ِللهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ.
Artinya:
Sesungguhnya kita milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya.
9. Ketika melihat sesuatu yang menakjubkan bacalah:
مَا شَاءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ.
Artinya:
Apa yang dikehendaki oleh Allah maka terjadi. Tiada kekuatan kecuali dengan Allah.
10. Ketika melalui kawasan yang menakutkan teruslah berzikir dalam hati dengan kalimat:
لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
Artinya:
Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali bersama Allah.
11. Kalau terlanjur berbuat dosa maka segeralah bertaubat dan ucapkan:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ.
Artinya:
Aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung.
12. Ketika keadaan genting berbahaya perbanyaklah membaca:
لاَإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ.
Artinya:
Tiada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau sesungguhnya aku termasuk orang-orang zalim.
Allah SWT berjanji menyelamatkan setiap mukmin yang selalu membaca tasbih ini ketika menghadapi suasana genting dan berbahaya. (Q.S. al-Anbiyaa’ [21] ayat 87.
13. Ketika kehabisan perbekalan dalam perjalanan perbanyaklah membaca kalimat di bawah ini terutama pada waktu pagi dan petang:
حَسْبِيَ اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَ هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ. وَ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ.
Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan kecuali Dia dan hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia Pemilik `Arasy yang agung. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.
14. Ketika turun (istirahat) dalam perjalanan bacalah:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ.
Artinya:
Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa saja yang telah Dia ciptakan.
Dalam hadis yang berasal dari Hawlah binti Hakim as-Sulamiyah r.a. disebutkan bahwa “Barangsiapa yang turun di suatu tempat, kemudian ia membaca doa ini maka tidak ada yang dapat memudaratkannya hingga ia pergi dari tempat itu.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
15. Ketika masuk rumah (pulang dari musafir) lakukanlah:
a. Mengucapkan salam ketika akan masuk rumah baik ada orang di dalamnya maupun tidak ada. Allah s.w.t. berfirman dalam surat an-Nuur [24] ayat 61:”,Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada penghuninya, salam yang ditetapkan dari sisi Allah yang diberi berkat lagi baik.” Dan Anas r.a. menceritakan, “Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku, ‘Hai anakku, apabila kamu memasuki (rumah) keluargamu, maka ucapkanlah salam, niscaya salam itu menjadi berkah atas dirimu dan atas anggota keluarga rumah tanggamu.” “, (HR. At-Turmudzi dalam kitab Sunan-nya).
b. Doa ketika hendak masuk rumah. Rasulullah s.a.w. bersabda: “,Apabila seorang lelaki memasuki rumahnya, hendaklah ia mengucapkan doa:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَ الْمَوْلَجِ وَ خَيْرَ الْمَخْرَجِ بِسْمِ اللهِ وَلَجْنَا وَ بِسْمِ اللهِ خَرَجْنَا وَ عَلَى اللهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan tempat masuk dan kebaikan tempat keluar. Dengan menyebut nama Allah kami masuk, dan dengan menyebut nama Allah kami keluar, dan hanya kepada Allah, Tuhan kami, kami bertawaka. (Doa ini berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Abu Malik al-Asy`ari r.a.).
Kalau pulang dari haji atau umrah, hendaklah ditambah dengan doa lainnya yaitu mendoakan diri sendiri, kedua ibu-bapak, ahli keluarga, jamaah yang hadir (menjemput) serta seluruh kaum muslimin dan muslimat.
- Shalat Qashar
- Defenisi dan dasar
Menqashar shalat ialah memendekkan shalat yang empat rakaat (zuhur, ashar dan isya) menjadi dua rakaat. Dasar hukumnya al-Quran surat an-Nisaa’ [4]:101) dan Sunanh. Abdullah bin Umar r.a. berkata: Saya bersama Nabi Muhammad SAW, maka aku saksikan bahwa shalat beliau dalam perjalanan tidak lebih dari dua rakaat. Demikian pula Abu Bakar, Umar dan Utsman”. (Muttafaqun `alaih).
Tidak dibolehkan menqashar shalat subuh dan maghrib. Imam Ahmad bin Hanbal r.a. meriwayatkan bahwa Aisyah r.a., berkata: Difardukan shalat dua rakaat kecuali maghrib karena ini witir siang. Kemudian ditambah pada shalat hadir (tidak sedang dalam musafir) menjadi empat rakaat sedangkan dalam perjalanan ditetapkan seperti rakaatnya yang semula. Dan Ali bin `Ashim r.a. juga meriwayatkan dari Aisyah r.a.: Kecuali shalat maghrib dan subuh.
- Hukum qashar
Menurut pendapat Imam Muhammad bin Idris asy-Syafii dan Imam Ahamad bin Hanbal, menqashar shalat termasuk rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah untuk orang musafir dan ia boleh menqashar atau menyempurnakan.[2]
Dasar pendapat ini adalah al-Quran dan Sunnah. Firman Allah SWT dalam surat an-Nisaa’ (4) ayat 101: Maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat-mu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Yu`la bin Umaiyah bertanya kepada Umar bin Khattab: Apakah kita menqashar sedangkan kita dalam keadaan aman. Jawab Umar r.a.: Aku juga heran terhadap apa yang engkau herankan ini, dan aku telah menanyakan hal ini kepada Rasulullah s.a.w., maka jawab beliau: ‘Sedekah yang disedekahkan Allah untuk kamu, maka terimalah sedekah-Nya. (HR. Muslim dan imam-imam hadis lain). Dan sabda Nabi SAW: Sesungguhnya Allah menyukai kalau dilakukan rukhsah-Nya sebagaimana Dia suka dilakukan `azimah-Nya. (HR. Imam Ahmad dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar). Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan: Bahwa sahabat musafir bersama Rasulullah SAW, diantara mereka ada yang menqashar dan ada yang menyempurnakan, ada yang berpuasa dan ada yang berbuka, dan tidak ada yang mencela antara sebagian dengan lainnya. Dan Aisyah r.a. berkata: Aku keluar bersama Nabi SAW untuk umrah pada bulan Ramadhan, beliau berbuka dan aku puasa, beliau menqashar dan aku menyempurnakan. Maka aku katakan, “Demi Bapakku dan Ibuku, engkau berbuka sedangkan aku berpuasa; engkau menqashar sedangkan aku menyempurnakan”. Jawab Nabi s.a.w.: Engkau berbuat ihsan wahai Aisyah. (HR. ad-Daruqutuni dengan isnad yang baik).
- Kapan lebih utama menqashar?
Menurut Imam Syafii dan pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafii, qashar lebih utama dari menyempurnakan apabila ada keberatan atau apabila jarak perjalanan sampai tiga marhalah, yakni 121 km.
Apabila jaraknya cukup dua marhalah (81 km) namun kurang dari tiga marhalah (121 km), maka menyempurnakan lebih afdhal (utama) daripada qashar.[3]
Menurut Imam Hanbali, menqashar lebih utama dari menyempurnakan empat rakaat secara mutlak, baik ada keberatan maupun tidak, baik sampai tiga marhalah maupun hanya cukup dua marhalah.
- Syarat qashar
Syarat menqashar menurut mazhab Syafii ada delapan, yaitu:
Pertama, jarak perjalanan mencapai dua marhalah (81 km) atau lebih untuk perjalanan pergi, tidak dihitung perjalanan pulang.[4] Imam Hanbali juga mempunyai pendapat yang sama.
Menurut mazhab Hanafi, jarak perjalanan boleh menqashar shalat minimal perjalanan tiga hari atau tiga marhalah (121 km).[5]
Menurut mazhab Maliki, jarak perjalanan boleh menqashar minimal mencapai 89 km.[6]
Kedua, berniat di dalam hati sejak awal perjalanan untuk musafir dan berazam akan menempuh jarak perjalanan tertentu yang cukup dua marhalah.
Tidak boleh menqashar sekiranya berniat mukim di tengah perjalanan. Misalnya, kalau Anda berniat musafir dari Pekanbaru ke Padang dan akan bermukim di Bangkinang selama 4 hari atau lebih. Anda tidak boleh menqashar, karena jarak antara Pekanbaru-Bangkinang tidak cukup dua marhalah.
Ketiga, perjalanan yang dibolehkan bukan perjalanan yang diharamkan.
Keempat, telah mulai musafir dengan meninggalkan batas kampung atau kelurahan tempat mukimnya.
Kelima, berniat menqashar pada setiap shalat pada waktu membaca takbiratul ihram.
Keenam, menghindarkan diri dari hal-hal yang membatalkan niat qashar pada waktu shalat, seperti berniat menyempurnakan shalat atau berniat kembali ke kampung sedangkan jarak yang sudah ditempuh belum cukup dua marhalah.
Ketujuh, tidak mengikut (berimam) kepada orang yang menyempurnakan shalatnya. Kalau berimam kepada orang seperti itu harus disempurnakan empat rakaat.
Kedelapan, tetap dalam keadaan musafir selama mendirikan shalat.
Jika berniat mukim di satu kampung untuk selama empat hari atau lebih dan sudah masuk kawasan kampung tersebut, maka tidak dibolehkan menqashar.
Jika sudah sampai di kawasan kampung tempat bermukim ketika masih shalat, maka harus disempurnakan empat rakaat.
Jika sudah sampai di kampung halaman sebelum mengucapkan salam, maka harus disempurnakan empat rakaat.
- Kalau sudah masuk waktu shalat dan mungkin dapat dilaksanakan, kemudian kita musafir, bolehkah kita menqashar?
Apabila sudah masuk waktu shalat dan mungkin dapat dilaksanakan akan tetapi Anda keluar musafir sebelum shalat, Anda boleh menqasharnya dalam perjalanan. demikian disebutkan dalam kitab al-Majmuu` Syarh al-Muhadzdzab.
- Kalau orang musafir berniat akan kembali jika di tengah perjalanan bertemu seseorang, bolehkah ia menqashar?
Sebaiknya hal ini kita bicarakan dengan contoh. Misalnya, Anda musafir dari Pekanbaru ke Medan, dan berniat kembali ke Pekanbaru kalau bertemu dengan saudara Anda di Minas. Anda tidak boleh menqashar karena jarak Pekanbaru-Minas tidak cukup dua marhalah (80,640 km).
- Kalau orang musafir membatalkan perjalanannya di tengah perjalanan dan ia kembali ke tempat tinggalnya, bolehkah ia menqashar dalam perjalanan pulang?
Kalau jarak yang telah ditempuhnya sudah cukup dua marhalah, ia boleh menqashar shalat dalam perjalanan pulang. Jika tidak cukup, maka ia harus menyempurnakan shalatnya empat rakaat. Demikian disebutkan oleh Imam Syafii dalam kitab al-Umm.
- Kalau jarak perjalanan jauh ditempuh hanya dalam waktu sebentar, apakah juga sah menqashar?
Tetap sah menqashar walaupun jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu sebentar. Misalnya jarak ratusan kilometer atau ratusan mil yang ditempuh hanya dalam waktu beberapa menit karena dengan pesawat udara. Pendapat ini disepakati oleh mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. (Baca Abdul Rahman al-Juzairi dalam Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah dan Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islaamiy wa Adillatuh).
- Kalau orang musafir berniat akan menempuh perjalanan ke satu negeri, kemudian ia melanjutkan perjalanan ke negeri yang lain sesudah mukim 4 hari atau lebih di negeri pertama, bolehkah ia menqashar?
Perjalanan demikian terhitung sebagai dua perjalanan yang berbeda.
Dalam setiap perjalanan boleh menqashar shalat kalau jaraknya cukup dua marhalah (80,640 km). Kalau tidak cukup maka tidak boleh menqashar.
Misalnya, Anda musafir dari Pekanbaru ke Minas dan mukim di sini 4 hari. Kemudian Anda lanjutkan perjalanan ke Dumai. Dalam perjalanan Pekanbaru-Minas tidak boleh menqashar, karena jaraknya tidak cukup dua marhalah. Dan dalam perjalanan dari Minas ke Dumai dibolehkan menqashar, karena jaraknya cukup dua marhalah. Di Minas tidak boleh menqashar karena dari awal sudah berniat muqim sselama empat hari.
Demikian disebutkan oleh Imam Muhammad bin Idris asy-Syafii dalam kitab al-Umm dan Abu Ishaq asy-Syirazi dalam al-Muhadzdab fiy Fiqh al-Imaam al-Syaafi`iy.
- Kalau orang musafir tidak berniat mukim di tempat tujuannya, berapa lamakah ia dibolehkan menqashar?
Jika telah sampai di tempat tujuan tetapi tidak berniat mukim, maka boleh menqashar dalam masa 3 hari 3 malam. Hari sampai dan hari meninggalkan tempat tidak termasuk dalam hitungan tiga hari.
- Kalau orang musafir berniat mukim, bolehkah ia menqashar?
Kalau berniat mukim empat hari atau lebih, tidak boleh menqashar shalat. Kalau kurang dari 4 hari boleh menqashar. Demikian pendapat mazhab Syafii, Utsman bin `Affan, Ibnu al-Musayyib dan Abu Tsaur.
- Kalau orang musafir berniat mukim empat hari atau lebih di satu kampung atau tempat, kemudian ia melanjutkan perjalanan, apakah harus memperbarui niat musafirnya?
Ia harus memperbarui niat musafirnya. Dan jarak perjalanannya terhitung dari tempat mukimnya, bukan dari rumah tempat tinggalnya.
Misalnya, Anda musafir dari Pekanbaru tujuan Dumai dan akan bermukim di tengah perjalanan tepatnya di kota Duri selama 4 hari.
Ketika akan melanjutkan perjalanan ke Dumai, Anda harus memperbarui niat musafir sehingga jelas bahwa jarak perjalanan Anda Duri-Dumai. Garis startnya terhitung dari Duri, tempat bermukim Anda. Bukan dari kota Pekanbaru tempat tinggal Anda.
- Bolehkah orang musafir mengikut kepada imam yang mukim?
Orang sedang musafir boleh berimam kepada imam yang mukim namun harus menyempurnakan empat rakaat. Sebab Ibnu Abbas r.a. ditanya, “Bagaimana hal orang musafir, ia shalat dua rakaat ketika sendirian dan empat rakaat apabila mengikut imam yang mukim? Jawab Ibnu Abbas r.a., “Itu adalah Sunnah.” (HR. Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya).
- Bolehkah orang mukim mengikut kepada imam yang menqashar?
Orang yang sedang mukim boleh mengikut kepada imam yang menqashar shalat. Sesudah imam salam, disunatkan baginya mengatakan, “Sempurnakan shalat kamu, karena saya sedang musafir,” agar makmum tidak ragu-ragu.
- Apakah hal-hal yang menyebabkan tidak boleh menqashar?
Menurut mazhab Syafii, seseorang tidak boleh menqashar atau batal shalatnya apabila terdapat salah satu sebab berikut,
- karena berniat mukim secara mutlak tanpa menentukan batas waktunya; atau berniat mukim empat hari secara sempurna; atau berniat mukim untuk satu keperluan yang tidak dapat diselesaikan kecuali dalam masa empat hari tersebut. Tidak masuk dihitung hari sampai dan hari pergi.
- karena telah kembali ke tempat tinggal tetapnya.
- karena berimam kepada orang mukim atau kepada orang yang diragukan musafir dan mukimnya.
- karena perjalanannya tanpa tempat tujuan tertentu.
- karena tidak bisa menentukan tempat tujuan dan jarak yang telah ditempuh belum cukup dua marhalah.
- karena musafir untuk tujuan maksiat.
- karena memutuskan tidak akan meneruskan perjalanan ketika sedang shalat dan jarak yang sudah ditempuh belum cukup dua marhalah.
- karena tidak berniat menqashar ketika takbiratul ihram.
- Shalat Jamak
- Defenisi jamak
Menjamak shalat ialah mengerjakan dua shalat fardhu dalam satu waktu.
Shalat yang boleh dijamak ialah shalat zuhur dengan ashar; dan shalat maghrib dengan isya.
Mengerjakan shalat zuhur dan ashar pada waktu zuhur; dan mengerjakan shalat maghrib dan isya pada waktu maghrib dinamakan jamak taqdim. Dengan demikian jamak taqdim ialah mengerjakan dua shalat fardhu dalam waktu shalat yang pertama.
Mengerjakan shalat zuhur dan ashar pada waktu ashar; dan mengerjakan shalat maghrib dan isya pada waktu isya dinamakan jamak ta’khir. Dengan demikian jamak ta’khir ialah mengerjakan dua shalat fardhu dalam waktu shalat yang kedua.
Tidak boleh menjamak shalat subuh dengan shalat apapun. Dan tidak boleh menjamak shalat maghrib dengan ashar.
- Hukum menjamak shalat
Dibolehkan menjamak shalat bagi orang musafir yang memenuhi syarat. Yaitu kalau musafirnya memenuhi syarat-syarat boleh menqashar. Demikian pendapat Imam Maliki, Syafii, Hanbali dan jumhur (kebanyakan) ulama. Akan tetapi menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan sejumlah ulama lainnya, orang musafir tidak boleh menjamak shalat. Menjamak dibolehkan hanya bagi jamaah haji ketika wuquf di Arafah (zuhur dan ashar) dan di Muzdalifah (magrib dan isya).
- Manakah yang lebih utama antara jamak taqdim dengan jamak ta’khir?
Kalau waktu shalat yang pertama (zuhur atau maghrib) masuk ketika Anda sedang berjalan, maka lebih utama jamak ta’khir. Artinya, Anda terus berjalan dengan niat dalam hati akan menjamak shalat zuhur dan ashar pada waktu ashar; atau akan menjamak shalat maghrib dan isya pada waktu isya.
Kalau waktu shalat zuhur atau maghrib masuk ketika Anda sedang istirahat, maka lebih utama menjamak taqdim. Artinya, Anda menjamak zuhur dan ashar dalam waktu zuhur; atau menjamak maghrib dan isya pada waktu maghrib.
Dasar pendapat ini hadis yang berasal dari Ibnu Abbas r.a., ia berkata: Saya beritahu kamu tentang shalat Rasulullah SAW. Apabila condong matahari sedangkan Nabi SAW di rumah (istirahat), maka beliau mendahulukan ashar ke zuhur dan menjamak keduanya pada waktu zuhur. Dan apabila Nabi SAW berjalan sebelum condong matahari, maka beliau mengakhirkan zuhur ke waktu ashar kemudian menjamak keduanya pada waktu ashar.
Anas bin Malik r.a. berkata: Apabila Rasulullah SAW telah berjalan sebelum matahari condong, maka beliau mengakhirkan zuhur ke waktu ashar. Kemudian beliau turun dan menjamak antara keduanya. Apabila matahari telah condong sebelum Nabi s.a.w. berjalan beliau shalat zuhur, kemudian beliau menunggang (hewan untuk berangkat). (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menginformasikan bahwa kalau waktu zuhur sudah masuk ketika Nabi SAW masih istirahat beliau melakukan jamak taqdim. Akan tetapi kalau sudah berjalan sebelum waktu zuhur masuk, beliau melakukan jamak ta’khir.
Selain itu hadis terssebut juga menyebutkan bahwa kalau waktu zuhur sudah masuk ketika Nabi SAW masih di rumah atau belum memulai perjalanan, beliau shalat zuhur tanpa menjamak.
- Syarat jamak taqdim
Syarat menjamak taqdim ada tiga, yaitu:
1. berniat menjamak pada shalat yang pertama (zuhur atau maghrib). Sebaiknya berniat dilakukan pada waktu membaca takbiratul ihram. Boleh berniat menjamak sebelum salam pada shalat yang pertama.
2. tertib, yaitu mengerjakan shalat yang pertama (zuhur atau maghrib) terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan yang kedua (ashar atau isya).
3. beriringan antara kedua shalat yang dijamak. Yaitu, sesudah mendirikan shalat zuhur dilanjutkan dengan shalat ashar; atau sesudah mendirikan shalat maghrib dilanjutkan dengan shalat isya. Antara keduanya tidak boleh diselingi waktu yang lama.
Kalau antara keduanya dipisah oleh waktu yang panjang maka batal jamak. Sebab kedua shalat ini seperti satu shalat. Tidak boleh dipisahkan sebagaimana tidak boleh memisahkan antara rakaat-rakaat satu shalat.
Kalau dipisah oleh waktu singkat, shalat jamak tidak batal.
- Syarat jamak ta’khir
Ketika masuk waktu shalat yang pertama (zuhur atau maghrib) harus Anda niatkan akan menjamak kedua shalat (zuhur dan ashar atau maghrib dan isya) pada waktu ashar atau pada waktu isya.
Kalau ditunda pelaksanaan shalat yang pertama ke waktu shalat yang kedua, maka tidak sah jamak tanpa ada niat akan melakukan jamak ta’khir. Ini untuk membedakan antara orang yang ingin menjamak dengan yang lalai. Atau membedakan antara orang yang menunda shalat atas dasar syariat dengan yang meninggalkan shalat karena lalai.
Syarat jamak ta’khir hanya satu yaitu berniat menjamak shalat pada waktu mendirikan shalat yang pertama (zuhur atau maghrib).
Tertib tidak menjadi syarat dalam jamak takhir. Sebab waktu shalat yang kedua juga merupakan waktu bagi yang pertama. Namun disunatkan mendahulukan shalat yang pertama, yaitu mengerjakan shalat zuhur terlebih dahulu daripada ashar dan demikian juga mendahulukan maghrib daripada isya.
Beriringan (muwalat) juga tidak menjadi syarat dalam jamak ta’khir. Antara kedua shalat boleh dipisah oleh waktu yang panjang.
- Jamak-Qashar
Jamak-qashar ialah mendirikan dua shalat fardhu pada waktu salah satunya dan memendekkan shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Misalnya mendirikan shalat zuhur dan ashar pada waktu zuhur dan memendekkan kedua-duanya yaitu masing-masing dilaksanakan dua rakaat. Atau contoh lainnya, mendirikan shalat maghrib dan isya pada waktu maghrib dengan memendekkan shalat isya menjadi dua rakaat sedangkan maghrib tetap tiga rakaat.
- Kaifiat jamak taqdim-qashar
Jamak taqdim dan qashar dengan cara mendirikan shalat yang pertama terlebih dahulu, misalnya menjamak zuhur-ashar harus terlebih dahulu menunaikan shalat zuhur. Tidak boleh mendahulukan shalat yang kedua (ashar).
Niat jamak dilakukan ketika takbiratul ihram shalat zuhur atau dalam shalat ini sebelum mengucapkan salam yang pertama. Maksudnya berniat dalam hati bahwa akan menunaikan shalat ashar pada waktu itu juga, yaitu sesudah salam dari shalat zuhur. Dirikan shalat zuhur dua rakaat, karena Anda juga menqashar.
Sesudah salam, Anda langsung berdiri untuk menunaikan shalat ashar (shalat kedua). Anda berniat shalat ashar dengan qashar dan menjamaknya kepada zuhur. Dirikan ashar dua rakaat karena Anda juga menqasharnya.
Antara pelaksanaan zuhur dan ashar harus beriringan, tidak boleh diselingi waktu kosong. Karena itu tidak dianjurkan berzikir dan berdoa sesudah salam dari shalat zuhur. Anda boleh berzikir dan berdoa sesudah salam dari shalat ashar.
Hal yang sama juga berlaku ketika jamak-qashar pada shalat maghrib dan isya. Dirikan terlebih dahulu maghrib tiga rakaat dan berniat jamak pada waktu takbiratul ihram. Juga boleh berniat jamak selagi masih dalam shalat maghrib ini sebelum mengucapkan salam pertama.
Sesudah salam, Anda langsung berdiri untuk mendirikan shalat isya (shalat kedua). Anda berniat shalat qashar dan menjamaknya kepada maghrib. Dirikan shalat isya dua rakaat karena Anda menqasharnya.
Antara pelaksanaan maghrib dan isya harus beriringan, tidak boleh diselingi waktu kosong. Karena itu tidak dianjurkan berzikir dan berdoa sesudah salam dari shalat maghrib. Anda boleh berzikir dan berdoa sesudah salam dari shalat isya.
- Kaifiat jamak ta’khir-qashar
Dalam shalat jamak ta’khir- qashar Anda boleh memilih mendahulukan salah satu dari dua shalat. Boleh mendahulukan zuhur atau mendahulukan ashar akan tetapi disunatkan mengerjakan shalat zuhur terlebih dahulu.
Demikian juga antara shalat maghrib dan isya, boleh mendahulukan maghrib atau mendahulukan isya akan tetapi disunatkan mengerjakan shalat magrib terlebih dahulu.
Antara kedua shalat tidak harus beriringan akan tetapi boleh diselingi waktu yang lama selagi masih ada waktu shalat ashar atau waktu shalat isya. Sesudah salam dari shalat yang Anda dahulukan, Anda boleh berzikir dan berdoa atau beraktifitas lainnya selagi masih ada waktu shalat ashar. Namun lebih afdhal (utama) atau disunatkan menjadikannya beriringan sebagaimana pada jamak taqdim.
Berniat jamak harus dilakukan ketika takbiratul ihram shalat yang pertama dilakukan. Juga sah jamak kalau diniatkan dalam pelaksanaan shalat yang pertama dilakukan sebelum salam.
Misalnya pada jamak ta’khir zuhur-ashar Anda dahulukan melaksanakan shalat ashar. Niat jamak harus Anda lakukan ketika takbiratul ihram shalat ashar atau dalam shalat ini sebelum mengucapkan salam yang pertama.
Kalau Anda tunaikan zuhur terlebih dahulu, niat jamak harus Anda lakukan ketika takbiratul ihram zuhur atau dalam shalat ini sebelum mengucapkan salam yang pertama. Tidak sah jamak kalau berniat jamak dilakukan pada shalat yang kedua ditunaikan. Dirikan zuhur dan ashar masing-masing dua rakaat karena Anda melakukan jamak-qashar.
Hal yang sama juga berlaku pada shalat maghrib-isya yang dijamak ta’khir-qashar. Boleh mendahulukan shalat isya atau maghrib. Berniat jamak harus dilakukan ketika takbiratul ihram shalat yang pertama ditunaikan sebelum mengucapkan salam pertama. Dirikan shalat isya dua rakaat sedangkan maghrib tetap tiga rakaat.
- Kalau sudah sampai ke tempat tinggal mukim ketika masih shalat zuhur dalam jamak taqdim, apakah boleh meneruskan jamak taqdim?
Kalau sewaktu shalat zuhur atau sebelum mulai shalat ashar, dalam jamak taqdim, Anda berniat mukim atau sampai ke tempat tinggalmu maka tidak boleh meneruskan jamak.
Shalat zuhur sah karena Anda dirikan pada waktunya. Namun harus Anda sempurnakan empat rakaat, sebab telah mukim.
Anda tidak boleh shalat ashar karena waktunya belum masuk.
Demikian juga shalat maghrib yang digabungkan dengan isya dalam jamak taqdim. Shalat maghrib sah, tetapi tidak boleh melanjutkan jamak karena sudah mukim.
- Kalau sudah sampai ke tempat tinggal mukim ketika masih shalat ashar dalam jamak taqdim, apakah boleh meneruskan jamak taqdim?
Menurut pendapat Imam ar-Rafii, tidak batal jamak walaupun telah mukim atau sampai ke tempat tinggal ketika masih mendirikan shalat yang kedua (ashar atau isya) dalam jamak taqdim. Dan ini merupakan pendapat yang paling sahih menurut ar-Rafii.
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa jamak batal. Namun shalat yang kedua tersebut harus dilanjutkan sebagai shalat sunat.
- Kalau sudah mukim, sedangkan waktu shalat yang pertama masih ada dan telah selesai shalat jamak taqdim, apakah sah shalat jamak tersebut?
Shalat jamak tersebut sah walaupun waktu shalat yang pertama (zuhur atau maghrib) masih ada dan belum masuk waktu shalat yang kedua (ashar atau isya). Anda tidak perlu mengulangi shalat. Hal ini sama hukumnya dengan orang yang menqashar shalat dan ia telah mukim atau telah sampai di tempat tinggalnya padahal waktu shalat yang telah diqasharnya masih ada.
[1] QS. Az-Zukhruf ayat 13 dan 14.
[2] Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wajib menqashar shalat yang empat rakaat bagi orang musafir yang memenuhi syarat sedangkan menurut Imam Malik adalah sunat muakkad.
[4] Jarak 2 marhalah sama dengan 48 mil disebutkan oleh jumhur ulama, seperti oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmuu` Syarh al-Muhadzdzab; al-Juzairi dalam Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah; dan az-Zuhaili dalam al-Fiqh Islaamiy wa Adillatuh. Sedangkan dalam al-Umm, karya Imam Syafii disebutkan bahwa dua marhalah sama dengan 46 mil. Dasar Imam Syafii hadis yang berasal dari riwayat Abdullah bin Abbas r.a. Baca Imam Syafii, al-Umm, j.1, hlm.211-212.
[5] Di dalam al-Fiqh al-Islaamiy wa Adillatuhu karya az-Zuhaili disebutkan bahwa tiga marhalah sama dengan 96 km; dan dua marhalah sama dengan 88,704 km versi hitungan Imam Malik. Sedangkan di dalam Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah karya al-Juzairi disebutkan bahwa dua marhalah sama dengan 80,640 km. Atas dasar hitungan al-Juzairi ini maka tiga marhalah sama dengan 120,960 km., dan inilah yang dijadikan sebagai pedoman dalam buku yang sedang Anda baca ini.
[6] Al-Juzairi dalam Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah tidak membedakan pendapat mazhab Syafii, Hanbali dan Maliki tentang jarak minimal perjalanan boleh menqashar yaitu 48 mil atau sama dengan 80,640 km. Akan tetapi az-Zuhaili menyebutkan adanya perbedaan pendapat Imam Malik bin Anas r.a. dengan mazhab Syafii dan Hanbali. Menurut Imam Malik, 48 mil sama dengan 88,704 km. Baca az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islaamiy, j.2, hlm.321.
Terkesan dengan ustadz Imron Efendy
ReplyDelete